Mulai dari distribusi pamflet anti Israel hingga guru dan murid yang berdebat soal bendera Palestina, sejumlah sekolah di Berlin, rumah bagi diaspora Palestina yang terbesar di Eropa, sedang berjuang untuk merespons perang Israel-Hamas.
Kementerian Pendidikan Jerman dari 16 provinsi/negara bagian segera meminta sekolah-sekolah untuk merespon dengan tepat dan sensitif di ruang kelas, terhadap serangan mematikan yang dilakukan Hamas di Israel dan perang yang dipicu olehnya.
Tidak ada sekolah yang memiliki tugas lebih rumit bagi guru, daripada di distrik Neukoelln, Berlin, di mana komunitas Arab dalam jumlah besar hidup, dan di mana protes pro Palestina yang keras telah meletus sejak konflik itu dimulai.
“Sejumlah besar siswa kami adalah Muslim, banyak yang berasal dari Arab, dan sebagian berasal dari Palestina,” kata Clara Debour, guru di salah satu sekolah di distrik Ruetli.
"Pada hari Senin setelah orang-orang bersenjata dari Hamas menyerbu ke Israel dan membunuh setidaknya 1200 orang, mayoritas warga sipil, menurut otoritas Israel, para siswa mengalami semua jenis emosi: ketakutan, kemarahan, kemurkaan, kesedihan, dan bagi sebagian, ada semacam kepuasan,” lanjut Debour.
Di dekat sekolah itu, di Sonnenallee, satu kelompok bernama Samidoun membagikan permen untuk merayakan serangan yang membuat sekitar 240 orang juga ditahan sebagai sandera.
Pemerintah Jerman sejak itu telah melarang organisasi tersebut, saat menteri dalam negeri mengatakan bahwa organisasi itu menyebarkan propaganda anti-Israel dan anti-Yahudi, dengan kedok sebagai organisasi solidaritas bagi para tahanan.
Di sekolah lain di daerah itu, banyak yang berasumsi bahwa serangan itu adalah upaya balasan yang pantas dilakukan, kata seorang guru yang berbicara tanpa mau menyebut namanya.
Ketegangan terus meningkat dengan pemboman tanpa henti oleh Israel di Jalur Gaza dan invasi darat yang mengikutinya, yang menurut kementerian kesehatan Hamas, telah membunuh lebih dari 11.100 orang, mayoritas dari mereka masyarakat sipil. [ns/lt]