Sebagai lembaga tinggi negara yang berdiri sejak 2003, Mahkamah Konstitusi (MK) berusaha tetap independen, agar mampu mengawal demokrasi di Indonesia sesuai kewenangan dan haknya; yaitu lewat uji materiil UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Setiap warga Indonesia berhak mengajukan uji materiil UU tersebut tanpa dipungut biaya.
Namun, seiring dengan berkembangnya waktu, MK menghadapi sejumlah skandal yang mulai mencemarkan nama baiknya sendiri; seperti kasus surat putusan palsu yang diduga dilakukan mantan hakim konsitusi Arsyad Sanusi dibantu beberapa karyawan, pada Pemilu 2009 silam. Kasus ini sedang dibahas oleh Panja DPR, karena dikabarkan merugikan calon anggota legislatif asal Sulawesi Selatan, Dewi Yasin Limpo, dari Partai Hanura.
Oleh karena itu, di masa datang seleksi calon hakim konstitusi harus lebih hati-hati dan selektif. Hal ini disampaikan Ketua MK, Mahfud MD, dalam pembukaan simposium internasional dalam rangka HUT MK ke-8, di Istana Negara, Senin pagi. Simposium ini diikuti 250 peserta termasuk di dalamnya perwakilan hakim dan ketua MK dari 23 negara.
Ia mengatakan, “Prinsip independensi MK mohon terus dijaga apapun alasannya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, antara lain mengawal seleksi hakim MK yang melalui tiga pintu yaitu pemerintah, DPR, dan MA. Ketiga lembaga pengusul harus memiliki prosedur dan mekanisme yang ketat, akuntabel, dan terbuka. Seleksi di masing-masing lembaga negara pengusul harus benar-benar fair agar menjamin terpilihnya orang-orang terbaik dengan kualitas keilmuan yang mumpuni, prestasi dan jejak rekam (track-record) yang baik dan integritas yang tinggi.”
Di samping itu, kata Mahfud, MK juga memerlukan pengawasan yang lebih efektif, agar para hakim dapat mengeluarkan keputusan yang adil. Belakangan, Mahfud MD mengungkapkan pula kekuatirannya bahwa jabatan hakim konstitusi dalam waktu mendatang bisa diperjualbelikan.
“Misalnya yang dari DPR, kalau jaman Pak Jimly (Asshidiqie, mantan ketua MK) dan saya itu seleksinya masih objektif lah, tetapi yang ke depan ini saya kuatir misalnya 10 tahun ke depan bisa bayar sekian, saya kuatir di pemerintahan nanti begitu, di DPR dan di MA. Ini bisa menimbulkan persoalan. Indikasinya memang tidak ada sekarang, tetapi peluang itu mungkin, karena sistem seleksinya politis, ” ujar Mahfud.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Professor Saldi Isra, kepada VOA menilai himbauan Mahfud MD adalah bagian dari transaparansi yang harus dilakukan ketiga lembaga pengusul hakim konstitusi; yaitu pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung.
Professor Saldi mengatakan, “Yang paling terbuka itu di DPR karena ada uji publik (ada fit and proper test), dan dulu pemerintah juga melakukan proses yang terbuka, tetaopi belakangan kembali ke pola lama, tetapi yang sama sekali tidak terbuka itu ‘kan Mahkamah Agung (MA) padahal UU mengisyaratkan bahwa prosesnya harus transparan dan ini belum dipenuhi oleh MA sampai hari ini, disitu konteks pernyataan Ketua MK tadi, soal transparansi.”