Selesaikan Sengketa di Laut China Selatan, Menteri ARF Tekankan Dialog

  • Fathiyah Wardah

Sebuah globe (bola dunia) di toko buku di Beijing menunjukkan klaim kedaulatan pulau-pulau China dalam sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan, 13 Juli 2018. (AP Photo/Andy Wong)

Para menteri luar negeri yang tergabung dalam “ASEAN Regional Forum” menekankan pentingnya menyelesaikan semua sengketa di Laut China Selatan lewat dialog dan berpedoman pada hukum-hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.

Dua puluh tujuh menteri luar negeri yang tergabung dalam ASEAN Regional Forum ARF sepanjang pekan lalu melangsungkan pertemuan virtual, yang menekankan pentingnya upaya menyelesaikan semua sengketa di Laut China Selatan lewat dialog dan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Mereka juga menyerukan kepada semua pihak yang berselisih untuk saling menahan diri guna meredam ketegangan.

Dalam jumpa pers secara virtual yang menjelaskan pertemuan ARF itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa Indonesia ingin melihat kawasan Laut China Selatan yang damai dan stabil, di mana prinsip-prinsip internasional ditegakkan, termasuk Hukum Laut Internasional 1982. "UNCLOS sebagai kerangka hukum internasional untuk semua aktivitas di perairan dan laut. The Code of Conduct di Laut China Selatan harus konsisten dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982,” ujar Retno.

Indonesia juga menyampaikan bahwa UNCLOS 1982 adalah satu-satunya basis untuk penentuan maritime entitlement, kedaulatan dan hak berdaulat, yurisdiksi, serta legitimate interest di perairan dan laut.

Pengamat hukum internasional dari President University Teuku Rezasyah menilai Indonesia bersikap netral dalam kasus laut China Selatan, karena Indonesia bukan sebagai pengklaim. Indonesia, ujar Retno, dapat menyerukan pada China untuk mempercepat Court of Conduct di Laut China Selatan karena negara Tirai Bambu itu juga sedang disorot terkait isu perbatasan dengan India, persaingan dengan Amerika dan Jepang.

Rezasyah menambahkan selama ini memang persoalan Laut China Selatan tidak kunjung selesai karena China selalu ingin berunding secara bilateral. Dalam posisi bilateral tambahnya posisi runding negara-negara ASEAN lemah.

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

“Tetapi kalau kita berbicara dalam suatu kolektivitas, China akan bernegosiasi dengan 650 juta warga negara ASEAN. Oleh karena itu kalau ASEAN berhimpun dalam suatu kekuatan kolektif untuk berdialog dengan China, maka posisi runding kita lebih kuat, kemudian marwah negara-negara ASEAN lebih besar di mata China karena kita solid. China selalu memecah belah ASEAN sekarang Indonesia ingin mengatakan sesama ASEAN marilah kita satu suara,” kata Rezasyah.

Pada pertemuan ARF tersebut, para menteri luar negeri juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk mendukung Myanmar dalam menciptakan perdamaian dan keamanan bagi warganya, termasuk warga etnis minoritas Muslim-Rohingya di negara bagian Rakhine. Para menteri luar negeri ARF ini juga meminta pemerintah Myanmar untuk segera memulangkan para pengungsi dengan cara yang aman dan bermartabat.

Isu Pengungsi Jadi Salah Satu Fokus

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga mengangkat isu meningkatnya arus pengungsi di kawasan. Dalam dua bulan terakhir, Indonesia menerima hampir 400 pengungsi etnis Rohingya. "Saya mengingatkan penting bagi kita untuk berbagi tanggung jawab untuk mengatasi tantangan ini. Saya kembali mengingatkan pentingnya untuk mengatasi akar masalahnya di Myanmar. Myanmar adalah rumah bagi etnis Rohingya maka prioritas harus diberikan untuk memastikan repatriasi berjalan dengan aman, sukarela, dan bermartabat ke Myanmar," ujar Menteri Retno.

Menteri Retno memperingatkan kemungkinan adanya keterlibatan kejahatan terorganisir dalam kasus manusia perahu.

BACA JUGA: Menlu RI Desak Myanmar Mulai Repatriasi Pengungsi Muslim-Rohingya

Para menteri luar negeri ARF juga menekankan pentingnya kerjasama di tujuh sektor, yakni bantuan bencana, kontra-terorisme dan kejahatan transnasional, keamanan maritim, larangan penyebaran senjata pemusnah massal dan perlucutan senjata, keamanan serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, kerjasama pertahanan, serta operasi menjaga perdamaian, diplomasi pencegahan, dan penguatan kelembagaan ARF.

ARF yang dibentuk pada 1994 merupakan salah satu badan sektoral di bawah koordinasi Dewan Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN. ARF merupakan forum dialog isu-isu politik dan ekonomi di kawasan Asia pasifik yang dibentuk untuk mendukung proses integrasi dan pembangunan Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN.

Your browser doesn’t support HTML5

Selesaikan Sengketa di Laut Cina Selatan, Menteri ARF Tekankan Dialog

Anggota ARF berasal dari 26 negara dan satu entitas (Uni Eropa), terdiri dari sepuluh negara ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, laos, Myanmar, malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam; sepuluh negara mitra wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, Australia, China, India, Jepang, Selandia baru, Rusia, Korea Selatan, dan Uni Eropa); serta tujuh negara lain di kawasan (Bangladesh, Korea Utara, Mongolia, pakistan, Papua Nugini, Sri Lanka, dan Timor Leste). [fw/em]