Senegal adalah negara terbaru di Afrika yang menawarkan bedah rekonstruksi gratis bagi perempuan yang menderita akibat sunat.
DAKAR —
Majelis Umum PBB pekan lalu mengadopsi sebuah resolusi yang mendesak negara-negara anggotanya untuk meloloskan dan memberlakukan undang-undang yang melarang mutilasi kelamin perempuan (FGM) bagi kaum perempuan yang dianggap sebagai pelanggaran HAM.
Meskipun telah ada kemajuan bagi generasi mendatang, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) mengatakan, ada sekitar 140 juta perempuan dan anak perempuan yang menderita karena mutilasi alat kelamin perempuan. WHO memperkirakan 92 juta anak perempuan ini berusia 10 tahun atau lebih, dan tinggal di Afrika.
Tujuh ahli bedah Senegal bulan November lalu dilatih tentang teknik untuk memperbaiki kerusakan fisik akibat FGM dan dapat memulihkan kepekaan alat kelamin yang dikembangkan di Perancis tahun 2004.
“Pembedahan ini sangat efektif, dalam arti memulihkan anatomi tersebut. Pembedahan ini sangat efektif dalam memulihkan seksualitas. Lebih dari 80 persen pasien benar-benar puas. Jadi menurut pandangan saya, tidak ada komplikasi, sangat efektif dalam memulihkan fungsi anatomi,” kata Dr. Abdul Aziz Kasse, ahli bedah onkologi di Dakar yang melakukan bedah rekonstruksi.
Pada tahun 1999 Senegal menyatakan bahwa sunat perempuan tidak sah. Meskipun banyak komunitas masyarakat telah meninggalkan praktek ini, beberapa daerah masih mempraktekkannya. Sunat perempuan memotong sebagian atau seluruh bagian luar alat kelamin perempuan.
Kelompok HAM mengatakan sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan bahkan dapat menimbulkan masalah-masalah jangka pendek dan panjang, seperti sakit kronis, masalah buang air kecil, dan komplikasi yang mengancam jiwa ketika melahirkan.
Pembedahan rekonstruktif ditujukan untuk memperbaiki bekas luka, memulihkan kembali syaraf, dan transplantasi atau mencangkokkan jaringan baru.
Sejauh ini baru sedikit perempuan di Senegal menjalani pembedahan sejak program tersebut dimulai awal November lalu. Tim dokter di Burkina Faso telah memulai bedah rekonstruksi ini tahun 2006. Namun, tidak semua orang memuji bedah rekonstruksi ini
Dr. Abdul Aziz Kasse mengatakan beberapa komunitas yang tetap melakukan sunat perempuan tidak senang melihat para ahli bedah memperbaiki apa yang mereka nilai sebagai ritual atau norma sosial terkait nilai-nilai tertentu, seperti kebersihan dan kesetiaan.
Meskipun telah ada kemajuan bagi generasi mendatang, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) mengatakan, ada sekitar 140 juta perempuan dan anak perempuan yang menderita karena mutilasi alat kelamin perempuan. WHO memperkirakan 92 juta anak perempuan ini berusia 10 tahun atau lebih, dan tinggal di Afrika.
Tujuh ahli bedah Senegal bulan November lalu dilatih tentang teknik untuk memperbaiki kerusakan fisik akibat FGM dan dapat memulihkan kepekaan alat kelamin yang dikembangkan di Perancis tahun 2004.
“Pembedahan ini sangat efektif, dalam arti memulihkan anatomi tersebut. Pembedahan ini sangat efektif dalam memulihkan seksualitas. Lebih dari 80 persen pasien benar-benar puas. Jadi menurut pandangan saya, tidak ada komplikasi, sangat efektif dalam memulihkan fungsi anatomi,” kata Dr. Abdul Aziz Kasse, ahli bedah onkologi di Dakar yang melakukan bedah rekonstruksi.
Pada tahun 1999 Senegal menyatakan bahwa sunat perempuan tidak sah. Meskipun banyak komunitas masyarakat telah meninggalkan praktek ini, beberapa daerah masih mempraktekkannya. Sunat perempuan memotong sebagian atau seluruh bagian luar alat kelamin perempuan.
Kelompok HAM mengatakan sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan bahkan dapat menimbulkan masalah-masalah jangka pendek dan panjang, seperti sakit kronis, masalah buang air kecil, dan komplikasi yang mengancam jiwa ketika melahirkan.
Pembedahan rekonstruktif ditujukan untuk memperbaiki bekas luka, memulihkan kembali syaraf, dan transplantasi atau mencangkokkan jaringan baru.
Sejauh ini baru sedikit perempuan di Senegal menjalani pembedahan sejak program tersebut dimulai awal November lalu. Tim dokter di Burkina Faso telah memulai bedah rekonstruksi ini tahun 2006. Namun, tidak semua orang memuji bedah rekonstruksi ini
Dr. Abdul Aziz Kasse mengatakan beberapa komunitas yang tetap melakukan sunat perempuan tidak senang melihat para ahli bedah memperbaiki apa yang mereka nilai sebagai ritual atau norma sosial terkait nilai-nilai tertentu, seperti kebersihan dan kesetiaan.