Sengketa hukum mengenai hak paten obat di India bisa menentukan apakah obat-obatan yang murah bisa mudah diperoleh jutaan orang di seluruh dunia.
Dr. Suniti Solomon telah mengobati ribuan laki-laki dan perempuan yang mengidap HIV di kliniknya di kota Chennai selatan sejak ia mendeteksi penularan AIDS pertama 25 tahun lalu. Tiruan obat-obatan bermerek yang dihasilkan industri obat generik India yang sekarang melambung telah banyak membantu pasien-pasiennya.
Ia mengatakan, “Sebelumnya, kami tidak punya obat generik, mungkin hanya satu atau dua persen pasien saya yang bisa membeli obat-obatan dari luar negeri. Sekarang 60 sampai 70 persen dapat dengan mudah membeli sedikitnya satu obat yang bisa membuat mereka bertahan hidup mungkin 10 tahun lagi atau lebih.”
Seperti para pasien di Chennai, obat-obatan generik ini merupakan kebutuhan utama bagi jutaan orang di Afrika dan negara-negara berkembang lainnya.
Mereka kebanyakan tidak menyadarinya, tetapi kasus yang masih dibahas di Mahkamah Agung India bisa berdampak jauh pada kemudahan mendapat obat-obatan yang tidak mahal ini.
Kasus itu melibatkan gugatan hukum oleh perusahaan obat Swis Novartis atas penolakan India untuk mengakui hak paten bagi obat leukemia.
Kasus itu telah dibahas hampir enam tahun di pengadilan India. Perdebatan terakhir akan dilakukan bulan depan.
India menolak hak paten obat Gleevec dan mengatakan obat itu tidak baru, tetapi merupakan formula garam obat yang sudah lama dikenal. India tidak mengizinkan perusahaan-perusahaan mematenkan modifikasi obat lama, kecuali bila tingkat kemanjurannya banyak bertambah.
Empat puluh negara, termasuk Amerika, Tiongkok, dan Rusia mengakui hak paten bagi Gleevec. Tetapi di India, versi generiknya dipoduksi dengan biaya sangat murah.
Novartis mengatakan sedang mencari kejelasan mengenai bagaimana penemuan oleh industri obat itu bisa dilindungi di India. Ranjit Shahani, yang mengepalai operasi Novartis di India, mengatakan perlindungan hak paten yang tidak memadai akan mematikan usaha-usaha peneliti.
“Jalan panjang dalam penelitian inovatif dipenuhi dengan risiko dan memerlukan ongkos mahal. Hanya satu dari 10.000 bahan campuran percobaan yang diteliti yang akan mencapai pasar dan biayanya antara satu sampai dua miliar dolar bagi tiap obat yang nantinya disetujui. Satu molekul yang berhasil menjadi obat harus mengganti kerugian ribuan molekul yang gagal,” papar Shahani.
Kasus itu menarik perhatian internasional. Perusahaan obat internasional memandang hukum India sebagai cara mengelakkan hak paten dan meginginkan tolok ukur yang lebih keras.
Namun, para pendukung hukum paten India mengatakan hukum itu mencegah praktek yang disebut “penghijauan,” di mana perusahaan-perusahaan obat mendapat paten baru dengan membuat perubahan-perubahan kecil atas obat lama dan mencegah persaingan dengan obat generik.
Perusahaan-perusahaan obat internasional khawatir mengenai ketentuan-ketentuan lain dalam hukum paten India. Awal tahun ini, India mengizinkan sebuah perusahaan domestik memproduksi obat anti-kanker yang mahal yang diproduksi perusahaan Bayer dengan menggunakan peraturan di mana lisensi diberikan apabila obat itu tidak tersedia dengan harga terjangkau.
Ia mengatakan, “Sebelumnya, kami tidak punya obat generik, mungkin hanya satu atau dua persen pasien saya yang bisa membeli obat-obatan dari luar negeri. Sekarang 60 sampai 70 persen dapat dengan mudah membeli sedikitnya satu obat yang bisa membuat mereka bertahan hidup mungkin 10 tahun lagi atau lebih.”
Seperti para pasien di Chennai, obat-obatan generik ini merupakan kebutuhan utama bagi jutaan orang di Afrika dan negara-negara berkembang lainnya.
Mereka kebanyakan tidak menyadarinya, tetapi kasus yang masih dibahas di Mahkamah Agung India bisa berdampak jauh pada kemudahan mendapat obat-obatan yang tidak mahal ini.
Kasus itu melibatkan gugatan hukum oleh perusahaan obat Swis Novartis atas penolakan India untuk mengakui hak paten bagi obat leukemia.
Kasus itu telah dibahas hampir enam tahun di pengadilan India. Perdebatan terakhir akan dilakukan bulan depan.
India menolak hak paten obat Gleevec dan mengatakan obat itu tidak baru, tetapi merupakan formula garam obat yang sudah lama dikenal. India tidak mengizinkan perusahaan-perusahaan mematenkan modifikasi obat lama, kecuali bila tingkat kemanjurannya banyak bertambah.
Empat puluh negara, termasuk Amerika, Tiongkok, dan Rusia mengakui hak paten bagi Gleevec. Tetapi di India, versi generiknya dipoduksi dengan biaya sangat murah.
Novartis mengatakan sedang mencari kejelasan mengenai bagaimana penemuan oleh industri obat itu bisa dilindungi di India. Ranjit Shahani, yang mengepalai operasi Novartis di India, mengatakan perlindungan hak paten yang tidak memadai akan mematikan usaha-usaha peneliti.
“Jalan panjang dalam penelitian inovatif dipenuhi dengan risiko dan memerlukan ongkos mahal. Hanya satu dari 10.000 bahan campuran percobaan yang diteliti yang akan mencapai pasar dan biayanya antara satu sampai dua miliar dolar bagi tiap obat yang nantinya disetujui. Satu molekul yang berhasil menjadi obat harus mengganti kerugian ribuan molekul yang gagal,” papar Shahani.
Kasus itu menarik perhatian internasional. Perusahaan obat internasional memandang hukum India sebagai cara mengelakkan hak paten dan meginginkan tolok ukur yang lebih keras.
Namun, para pendukung hukum paten India mengatakan hukum itu mencegah praktek yang disebut “penghijauan,” di mana perusahaan-perusahaan obat mendapat paten baru dengan membuat perubahan-perubahan kecil atas obat lama dan mencegah persaingan dengan obat generik.
Perusahaan-perusahaan obat internasional khawatir mengenai ketentuan-ketentuan lain dalam hukum paten India. Awal tahun ini, India mengizinkan sebuah perusahaan domestik memproduksi obat anti-kanker yang mahal yang diproduksi perusahaan Bayer dengan menggunakan peraturan di mana lisensi diberikan apabila obat itu tidak tersedia dengan harga terjangkau.