Negara-negara kaya ditekan untuk mematuhi janji mengalokasikan US$100 miliar per tahun untuk negara-negara berkembang untuk melawan perubahan iklim.
WASHINGTON —
Sengketa finansial telah menghambat kemajuan dalam pembahasan-pembahasan PBB mengenai iklim di Polandia, karena para delegasi berdebat mengenai jumlah dana terbaik untuk para negara berkembang melawan pemanasan global.
Sementara itu, sekelompok kecil demonstran di luar konferensi mengutarakan kekesalan mereka karena isu-isu keuangan telah menghambah upaya-upaya mencegah pemanasan global.
Negara-negara berkembang menantang negara-negara kaya untuk mematuhi janji mengalokasikan US$100 miliar per tahun untuk membantu mereka menanggulangi perubahan iklim. Komitmen tersebut seharusnya dilakukan pada 2020, namun ada kekhawatiran bahwa negara-negara industri tidak memenuhi janji tersebut, menurut Simon Bradshaw, juru bicara perubahan iklim di Oxfam.
"Kekhawatirannya adalah bahwa negara-negara maju tidak memenuhi dengan cepat komitmennya yang dibuat pada 2009. Kami baru melihat sedikit sekali uang yang disediakan tahun ini dan tidak ada rencana-rencana yang kredibel dan kuat dari negara manapun mengenai bagaimana mereka akan meningkatkan kontribusi-kontribusi mereka," ujar Bradshaw.
Pembahasan-pembahasan mengenai perubahan iklim terjadi saat Filipina kewalahan menghadapi kehancuran yang diakibatkan Topan Haiyan.
Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian-kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem, seperti topan tersebut, telah meningkat hampir $200 miliar per tahun dan dapat terus naik karena memburuknya perubahan iklim.
Namun, pembicaraan-pembicaraan terjadi di saat banyak negara-negara indusri mencoba mendorong pertumbuhan ekonominya yang sedang stagnan.
"Kita tidak dapat memiliki sebuah sistem dimana ada kompensasi otomatis setiap ada peristiwa terkait cuaca ekstrem terjadi di suatu tempat. Anda dapat memahami bahwa hal itu tidak mungkin," ujar Connie Hedegaard, Komisioner Eropa untuk Aksi Iklim.
Mary Sering, wakil Filipina dalam pembahasan itu, mengkritik kurangnya kesepakatan mengenai emisi gas rumah kaca.
"Jika kita kaji kemajuan kita, bisa kan saya simpulkan kalau kita gagal total? Melihat bagaimana sains bekerja dan memanifestasikan dirinya, tidak hanya Topan Haiyan, kebakaran hutan di Australia, dan peristiwa ekstrem lainnya yang terjadi setelah pemanasan yang meningkat, seharusnya kita malu ada di sini," ujar Sering.
Konferensi terus berlangsung sampai Jumat. Kelompok ini berharap dapat membentuk dasar untuk persetujuan iklim 2015.
Sementara itu, sekelompok kecil demonstran di luar konferensi mengutarakan kekesalan mereka karena isu-isu keuangan telah menghambah upaya-upaya mencegah pemanasan global.
Negara-negara berkembang menantang negara-negara kaya untuk mematuhi janji mengalokasikan US$100 miliar per tahun untuk membantu mereka menanggulangi perubahan iklim. Komitmen tersebut seharusnya dilakukan pada 2020, namun ada kekhawatiran bahwa negara-negara industri tidak memenuhi janji tersebut, menurut Simon Bradshaw, juru bicara perubahan iklim di Oxfam.
"Kekhawatirannya adalah bahwa negara-negara maju tidak memenuhi dengan cepat komitmennya yang dibuat pada 2009. Kami baru melihat sedikit sekali uang yang disediakan tahun ini dan tidak ada rencana-rencana yang kredibel dan kuat dari negara manapun mengenai bagaimana mereka akan meningkatkan kontribusi-kontribusi mereka," ujar Bradshaw.
Pembahasan-pembahasan mengenai perubahan iklim terjadi saat Filipina kewalahan menghadapi kehancuran yang diakibatkan Topan Haiyan.
Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian-kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem, seperti topan tersebut, telah meningkat hampir $200 miliar per tahun dan dapat terus naik karena memburuknya perubahan iklim.
Namun, pembicaraan-pembicaraan terjadi di saat banyak negara-negara indusri mencoba mendorong pertumbuhan ekonominya yang sedang stagnan.
"Kita tidak dapat memiliki sebuah sistem dimana ada kompensasi otomatis setiap ada peristiwa terkait cuaca ekstrem terjadi di suatu tempat. Anda dapat memahami bahwa hal itu tidak mungkin," ujar Connie Hedegaard, Komisioner Eropa untuk Aksi Iklim.
Mary Sering, wakil Filipina dalam pembahasan itu, mengkritik kurangnya kesepakatan mengenai emisi gas rumah kaca.
"Jika kita kaji kemajuan kita, bisa kan saya simpulkan kalau kita gagal total? Melihat bagaimana sains bekerja dan memanifestasikan dirinya, tidak hanya Topan Haiyan, kebakaran hutan di Australia, dan peristiwa ekstrem lainnya yang terjadi setelah pemanasan yang meningkat, seharusnya kita malu ada di sini," ujar Sering.
Konferensi terus berlangsung sampai Jumat. Kelompok ini berharap dapat membentuk dasar untuk persetujuan iklim 2015.