Pengamat mengatakan tambang itu berisiko runtuh dan pemerintah masih enggan menyediakan informasi kontrak dengan perusahaan China tersebut kepada publik. Hal ini mendorong warga setempat dan kelompok advokasi untuk kembali mengajukan tuntutan mereka agar perusahaan tersebut menghentikan kegiatannya, serta melakukan aksi protes di depan Kedutaan Besar China.
Pengamat menggarisbawahi bahwa meskipun China dan Indonesia tidak ingin operasi tambang itu ditutup, Beijing bisa menggunakan kesempatan ini untuk menghapus keraguan dunia tentang “standar ganda” perusahaan China di dalam negeri dan di luar negeri, dan berupaya untuk memperbaiki standar proteksi lingkungan lokal. Kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan Indonesia di masa depan juga bisa memperbaiki citra mereka di mata dunia internasional.
BACA JUGA: Kota Buddhis Afghanistan Kuno Terancam Tambang Tembaga ChinaWarga Kabupaten Dairi, Sumatra Utara pun akhirnya meminta bantuan kepada masyarakat internasional. Mereka khawatir aktivitas penambangan perusahaan pertambangan seng China yang didukung oleh Indonesia, PT. Dairi Prima Mineral (DPM) akan berujung pada bencana.
Namun, seperti dilaporkan oleh Wahana News, menurut pengacara yang mewakili warga Dairi, mereka juga mempertanyakan keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menolak untuk memaparkan kontrak karya kepada publik.
Warga Dairi menuduh PT. DPM terus “mengabaikan hak dan kepentingan ratusan ribu warga Dairi”.
Wakil hukum warga Tongam Panggabean mengatakan kepada VOA bahwa DPM belum mendapatkan izin baru. Menurut peraturan, kegiatan pertambangan di daerah mereka harus dihentikan jika izinnya tidak diperbarui, tapi lokasi tambang itu dijaga ketat dan bahkan warga tidak bisa mendekati lokasi. Pemerintah belum mengirimkan siapapun untuk memonitor keadaan di lapangan.
Ancaman bencana tetap ada
Sejak tahun 1998, DPM mengantongi izin pertambangan di Dairi dan izin lingkungan pada 2005. Namun, pada 2019, PT. DPM mengubah rencana pembangunan bendungan untuk mengolah limbah pertambangan sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta DPM untuk mengajukan permohonan izin lingkungan baru. DPM juga mengajukan revisi AMDAL kepada KLHK pada tahun yang sama, tapi belum disetujui hingga saat ini. Yang artinya kegiatan penambangan DPM saat ini ilegal.
Meskipun telah mengajukan AMDAL yang telah direvisi, pengamat internasional beberapa tahun yang lalu memperingatkan bahwa relokasi tambang dapat menimbulkan ancaman bencana di kawasan itu. Steven H. Emerman, ahli hidrologi dan geofisika di Spanish Fork, Utah, Amerika, kembali mengutarakan kekhawatirannya kepada VOA.
“Ancaman utama berasal dari jebolnya bendungan pengelolaan limbah,” kata Emerman.
“Dengan banyaknya rumah tempat tinggal dan rumah ibadah yang letaknya kurang dari 1.000 meter dari kaki bendungan, jebolnya bendungan itu bisa memakan ratusan korban jiwa. Ancaman terbesar kedua adalah pencemaran akibat limbah air asam dan tumpukan batu, yang bisa merusak kehidupan sungai dan pasokan air untuk warga. Dan yang paling penting, ancaman ini akan selamanya ada dan tidak berhenti bahkan jika operasi tambang telah ditutup,” jelasnya.
Menanggapi penilaian Emerman dan ahli konservasi air lainnya terkait ancaman kegiatan penambangan, warga Dairi mengajukan permohonan kepada Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 2019 dan meminta agar ESDM menyediakan informasi kepada publik tentang kontrak karya dengan PT. DPM, untuk mengklarifikasi kemungkinan risiko yang ditimbulkan oleh tambang itu.
Namun, pihak ESDM hingga saat ini tidak mau menyediakan informasi yang diminta oleh warga itu. China berharap agar bisa segera memulai kembali aktivitas penambangan di sana.
ESDM Tolak Ungkap Kontrak Karya dengan PT. DPM kepada Publik
Menurut laporan media Indonesia, Kementerian ESDM beranggapan jika detil kontrak karya dengan PT. DPM dipublikasikan, akan dapat menimbulkan kerugian bagi DPM. ESDM pun mengajukan keberatan atau banding atas keputusan PTUN yang mengharuskan ESDM menyediakan detil kontrak karya dengan DPM kepada publik.
Namun, Tongam Panggabean, direktur eksekutif BAKUMSU, lembaga bantuan hukum di Medan, mengatakan pada VOA bahwa pentingnya detil kontrak karya itu disediakan kepada publik. “Yang ingin diketahui oleh warga Dairi adalah detil proyek dalam kontrak itu karena mereka khawatir akan dampak lingkungan dan sosial proyek itu di lingkungan sekitar tambang.” Pada 19 Agustus, warga Dairi juga mengajukan kontra memori kasasi kepada Mahkamah Agung agar tidak menyetujui banding ESDM.
Terkait hal ini, Lin Wenbin, dosen dan direktur Departemen Kajian Asia Tenggara di Wenzao Ursuline University of Languages di kota Kaohsiung, Taiwan selatan, mengamati bahwa Indonesia saat ini tengah menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui investasi infrastruktur. Memberikan detil kontrak karya kepada publik dapat mengakibatkan investor asing enggan berinvestasi di Indonesia, dan itu mungkin alasan kenapa ESDM enggan memberikan detil kontrak karya DPM. Sementara itu, China sebagai pemegang saham utama DPM tidak ingin ada gangguan terhadap proyek itu.
51% saham perusahaan patungan DPM adalah milik China Nonferrous Metals Construction Co., Ltd., dan 49% sahamnya milik Bumi Resources Minerals, anak perusahaan raksasa batubara Bumi Resources. DPM berencana melakukan penambangan komersial mineral termasuk seng, timbal, dan bijih perak di Dairi.
Lin Wenbin mengatakan kepada VOA: “Jika ESDM dan perusahaan asing membuat perusahan patungan, semua dokumen harus tersedia untuk publik.”
“Standar ganda” China?
Direktur eksekutif BAKUMSU Tongam mengatakan, selain kontrak karya yang dirahasiakan, publik juga khawatir jika izin lingkungan baru bagi DPM dikeluarkan oleh pemerintah.
“Kita bisa berasumsi pemerintah mungkin mempertimbangkan ‘mitigasi’ untuk proyek ini, di mana pemerintah mengeluarkan izin dengan syarat agar DPM bisa terus beroperasi. Tapi kami tidak ingin ini terjadi. Warga tidak ingin ada izin dikeluarkan untuk DPM karena perusahaan ini mengancam mata pencarian mereka, komunitas dan lingkungan mereka,” jelasnya.
Pada 2019, warga Dairi juga membuat pengaduan kepada International Finance Corporation (IFC) di bawah World Bank, karena IFC membeli saham Postal Savings Bank of China senilai 300 juta dolar pada tahun 2015, yang memberikan pinjaman pada pemegang saham utama DPM, China Nonferrous Metals, dan perusahaan induknya China Nonferrous Metals Mining Group. Artinya, jika DPM tidak mematuhi peraturan IFC, IFC dapat turun tangan untuk ikut menyelesaikan masalah itu.
Survei terbaru yang dilakukan oleh badan pengawas internal World Bank, Office of Compliance Advisor/Ombudsman (CAO), yang dikeluarkan pada 6 Juli tahun ini, setuju dengan pengamat internasional dan menyatakan tambang itu “sangat berisiko.” CAO mengatakan tambang itu diperkirakan berada di zona seismik aktif dan sering mengalami curah hujan tinggi dan pembangunan bendungan penampungan limbah di manapun di daerah itu akan berujung pada bencana.
Namun CAO melaporkan bahwa DPM telah menghentikan hubungan bisnis dengan Postal Savings Bank of China, sehingga CAO memutuskan tidak memulai penyelidikan kepatuhan. CAO juga menggarisbawahi bahwa China Nonferrous Metals terlibat mendalam dalam operasi dan manajemen DPM. Selain sebagai kontraktor umum proyek pertambangan, China Nonferrous Metals juga bertanggung jawab untuk semua pekerjaan konstruksi.
Pemegang saham China DPM bertanggung jawab penuh atas kualitas pembangunan tambang, tapi Emerman mengatakan China Nonferrous Metals berencana mendirikan bendungan penampungan limbah beberapa ratus meter dari desa di Dairin. Rencana ini bahkan tidak mematuhi peraturan China.
“Di China, bendungan penampungan limbah tidak boleh dibangun dalam 1.000 meter dari tempat tinggal warga, dan tinggi bendungan penampungan limbah tidak boleh lebih dari 200 meter,” kata Emerman.
“Ada banyak kasus standar ganda seperti ini di Amerika Latin. COntohnya di Tundayme, Ekuador, tambang Mirador yang dioperasikan oleh Ecua Corriente, anak perusahaan yang sepenuhnya milik perusahaan milik negara China Tongling Nonferrous Metals Group dan China Railway Construction Corporation. Ketika selesai dibangun, bendungan penampungan limbah di Tundayme tingginya 260 meter, dan akan menjadi bendungan penampungan limbah tertinggi di dunia, tapi seperti yang saya katakan, ini ilegal di China.”
VOA mencoba menghubungi DPM dan China Nonferrous Metals untuk mendapatkan tanggapan mereka tentang ancaman lingkungan akibat penambangan di Dairin, tapi keduanya tidak memberikan jawaban.
Pakar: China Bisa Bantu Selesaikan Sengketa jika Penegakan Peraturan Lingkungan Lebih Ketat
Harryanto Aryodiguno, asisten dosen di Hubungan Internasional President University di Bekasi mengatakan “standar ganda” di China dan Indonesia justru menyoroti betapa landasan hukum Indonesia tertinggal dari negara lain, dan juga menunjukkan pemerintah Indonesia tidak dapat menyeimbangkan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, dan sangat bergantung pada teknologi asing dari negara lain seperti China.
Harryanto Aryodiguno mengatakan kepada VOA, “Landasan hukum Indonesia tidak kuat, jadi, misalnya, kalau di luar negeri ilegal, belum tentu ilegal di Indonesia. Kalau China tidak membangun tambang sekarang, bisa jadi tambangnya tidak akan dibangun sama sekali, karena Indonesia tidak mau membangun tambang itu sendiri, karena bergantung pada teknologi asing. Jadi kalau bukan dibangun China, mungkin akan diberikan kepada negara lain. Pemerintah pusat selalu menekankan Indonesia masih butuh teknologi China, dan pemerintah mendorong warganya untuk mempelajari teknologi China secepat mungkin agar tidak terlalu bergantung pada China (di masa depan).”
Meskipun pemerintah, DPM dan Beijing tampak enggan melarang tambang itu, warga Dairi, didukung organisasi internasional, tidak menyerah.
Pada 24 Agustus 2022, warga dan kelompok advoskasi seperti BAKUMSU mendatangi Kantor Pemerintah Kabupaten Dairin, Konsulat Jenderal China di Medan dan Kedutaan Besar China di Jakarta untuk melakukan protes, menuntut agar pemerintah mencabut izin penambangan DPM. Mereka juga menyerahkan laporan CAO dan surat petisi kepada Kedubes China, menyatakan DPM mengoperasikan tambang di tanah mereka dan bisa menyebabkan bencana besar.
Namun, Tongam Panggabean, direktur eksekutif BAKUMSU, mengatakan Kedubes China tidak menanggapi tuntutan warga. Konjen China di Medan dan Kedubes China di Jakarta tidak menanggapi pertanyaan dari VOA.
Lin Wenbin mengatakan meskipun sengketa tambang masih belum selesai, China justru bisa memanfaatkan krisis ini menjadi kesempatan untuk membahas standar proteksi lingkungan baru dengan Indonesia. Upaya serupa tidak hanya akan memperluas Prakarsa Sabuk dan Jalan di Indonesia, tapi juga bisa mengatasi sengketa saat ini dan bahkan memperbaiki citra China di mata internasional.
“Jika China ingin menjadi panutan utama bagi negara berkembang, seharusnya ia meningkatkan standarnya sendiri. Pemerintah China telah meningkatkan teknologinya dalam perlindungan lingkungan dan pencegahan dan pengendalian polusi dalam beberapa tahun terakhir. Jika pemerintah Indonesia bisa mendorong perusahaan perlindungan lingkungannya, milik pemerintah atau swasta, untuk bekerja sama dengan perusahaan China, dan mendirikan perusahaan patungan serupa untuk melakukan penilaian dampak lingkungan dan perencanaan pembuangan air limbah di industry pertambangan, hal ini akan bisa memperluas hubungan antara China dan Indonesia. Bukankah lebih baik punya kemitraan yang tidak hanya terlibat dalam pertambangan, tapi juga perlindungan lingkungan?,” pungkasnya. [dw/pp]