Industri taksidermi di Pakistan perlahan-lahan menghilang, menurut mereka yang mempraktikkan seni tersebut. Namun para pendukungnya mengatakan, seni mengawetkan binatang melalui penyanggaan dan pengisian sehingga tampak seperti keadaannya saat masih hidup itu bukan seni semata namun juga memiliki nilai pendidikan.
Muhammad Javaid telah menjual taksidermi hewan dan burung selama 50 tahun. Namun bisnis tersebut tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Dua puluh tahun lalu, ketika situasi hukum dan ketertiban di Pakistan lebih baik, orang-orang Eropa sering datang ke tokonya untuk membeli burung-burung dan hewan yang sudah diawetkan tersebut.
Javaid mengatakan, "Bisnis kami menurun dari hari ke hari. Orang-orang dari negara Barat sering kali memiliki minat yang tinggi untuk membeli taksidermi. Namun kondisi Pakistan yang tidak menentu membuat mereka tidak datang ke negara ini. Jadi kami bisa katakan taksidermi adalah seni yang perlahan-lahan mati di Pakistan."
Toko Javaid masih memiliki sejumlah hewan yang diawetkan untuk dijual seperti burung beo, buaya dan luwak. dan luwak. Hanya beberapa orang yang masih berminat untuk membelinya.
Di Universitas Karachi, sebuah museum menjadi tempat bagi hewan-hewan yang diawetkan dan seni taksidermi itu sendiri.
Sejumlah mahasiswa tampak sedang mengamati hewan-hewan tersebut yang ditaruh di rak. Beberapa di antaranya meyakini bahwa ada manfaat pendidikan dalam seni taksidermi.
Shahzana Zareen, salah seorang mahasiswa mengatakan, "Mengapa kami berupaya untuk menyelamatkan seni tersebut, karena ada beberapa spesies yang dianggap terancam punah, jadi mereka harus diawetkan, ini merupakan seni pengawetan."
Tentu saja hewan yang sudah mati dan diawetkan tersebut tidak dapat menggantikan hewan yang masih hidup.
Museum Universitas Karachi memiliki koleksi hewan yang tidak dapat diamati para mahasiswa dari dekat di alam liar. Mulai dari buaya hingga potongan besar rahang ikan paus, semuanya dapat dilihat di beberapa ruangan kecil di sana.
Walau permintaan hewan-hewan taksidermi semakin berkurang akhir-akhir ini, mahasiswa seperti Shahnawaz Abbasi masih tertarik untuk mempelajarinya. Kali ini, Abbasi sedang mengawetkan seekor burung kecil.
Your browser doesn’t support HTML5
"Seni taksidermi merupakan pilihan saya sebagai sebuah profesi, orang-orang mungkin memandangnya sebagai sebuah seni," jelas.
Fakultas zoologi di Universitas Karachi berupaya mendatangkan dosen dari luar negeri atau memberi insentif tambahan bagi dosen lokal untuk memasukkannya ke kurikulum agar seni tersebut tetap hidup.
Dr. Kareem Maqbool, Kepala Museum Sejarah Alam di Universitas Karachi mengatakan, "Taksidermi adalah sebuah seni, di mana kita belajar untuk mengisi kulit hewan yang diawetkan, bahan-bahan apa yang dapat digunakan. Jika kita ingin meningkatkan kualitas seni ini, kita harus meningkatkan pengetahuan dengan dasar ilmiah, baik dari dosen-dosen lokal atau negara maju. Jadi seni itu secara otomatis akan menjadi menarik atau bangkit lagi."
Apakah seni taksidermi akan dapat bertahan atau mati seperti hewan-hewan yang sudah diawetkan tersebut? Kita tunggu saja kabar berikutnya. [lj/uh]