Epidemi Ebola di Afrika Barat diyakini telah berkurang, namun pencarian pengobatan dan vaksin baru masih terus berjalan. Satu penelitian yang sedang dilakukan adalah upaya AS/Seriba untuk menemukan obat anti-Ebola yang efektif.
September tahun lalu, ada beberapa peringatan yang mengerikan bahwa kasus Ebola di Afrika Barat bisa mencapai angka antara 500.000 dan satu setengah juta. Untungnya prediksi itu tidak terjadi. Tapi wabah Ebola terbesar ini menjangkiti sekitar 27.000 orang dan lebih dari 11.000 orang meninggal karenanya. Dan setelah lebih dari setahun, wabah ini belum berakhir. Walaupun Liberia telah dinyatakan bebas Ebola, Sierra Leone dan Guinea masih belum.
Pejabat kesehatan dan pemerintah mengatakan dibutuhkan cara yang lebih baik untuk menghindari wabah lainnya. Sejumlah percobaan vaksin terus dilakukan dan berbagai obat diuji coba.
Contohnya, Badan Pengurangan Ancaman Pertahanan AS dan Kementerian Pengembangan Sains dan Teknis Serbia menyediakan dana untuk mempelajari kelas kecil molekul yang dikenal sebagai diazachrysenes. Penelitian awal menunjukkan bahwa sebagian besar tikus-tikus yang menerima "satu dari tiga senyawa ekperimental berhasil terhindar dari penularan dan tidak menunjukkan efek-efek samping."
Salah satu penelitinya adalah Bogdan Solaja, professor kimia organik di Universitas Belgrade. Ia mengatakan, “Ada beberapa tipe chemo, beberapa kelas senyawa yang kini dikenal aktif melawan Ebola. Tapi dari aktif melawan Ebola menjadi sebuah obat jalannya masih panjang.”
Setiap langkah dalam pencarian obat baru, ujarnya, masih di tingkat dasar.
“Senyawa kami, kurang lebih, bereaksi baik pada tikus. Maksudnya, senyawa tersebut menyembuhkan beberapa tikus sampai 90 persen seperti yang ditulis di jurnal ini.”
Penemuan ini akan muncul di jurnal Penyakit Menular ACS.
Tapi walupun hasilnya sangat baik, masih banyak yang harus diketahui. Apakah senyawa ini beracun? Solaja mengatakan tidak. Apakah senyawa itu bisa menyebabkan perubahan dalam tubuh pasien, contohnya mempengaruhi DNA? Sesuatu yang bernama mutagenesis. Peneliti mengatakan mereka tahu jawabannya tapi masih belum bisa mengungkapkannya saat ini.
“Senyawanya ini larut dalam air sebagai garam dan bisa diberikan ke dalam larutan air. Dan cukup bagus walaupun biasanya diberikan ke dalam campuran air/DMSO,” ujarnya.
DMSO, dimethyl sulfoxide, adalah produk sampingan dari industri kayu dan digunakan sebagai pelarut. DMSO dicampur dengan bahan lain untuk membantu menyerap lebih cepat.
Solaja mengatakan tujuannya adalah mendapatkan obat Ebola yang bisa diberikan dengan cara seperti obat HIV dan malaria.
“Kami ingin memiliki obat yang bisa menjadi penangkal dan bisa menyembuhkan hewan, yang telah terjangkit Ebola.”
Obat HIV dan malaria kini digunakan untuk mencegah infeksi, dan terus digunakan bila telah terkena infeksi.
Walaupun telah menemukan kesuksesan awal yang sangat memberikan harapan, professor tersebut mengatakan bahwa obatnya belum akan tersedia di pasaran dalam waktu dekat.
“Waktu rata-rata yang dibutuhkan mulai dari hasil awal yang bagus sampai obat beredar di pasaran biasanya sekitar 10 tahun," ujarnya.
Solaja dan koleganya bekerjasama dengan para peneliti di Fort Detrick di negara bagian AS, Maryland. Maryland adalah tempat Komando Riset Medis Angkatan Darat AS dan mantan lokasi program senjata biologis AS. Beberapa organisme yang paling berbahaya terhadap manusia diteliti di laboratorium ini.