Seorang Dokter Bedah Rusia ‘Tebus’ Perang dengan Mengabdikan Diri di Ukraina

Dokter Rusia, Andrei Volna berbicara dengan jurnalis AFP, di rumah sakit militer di ibu kota Ukraina, Kyiv pada 26 Januari 2024. (Foto: Sergei SUPINSKY/AFP)

Andrei Volna sudah lama kehilangan kepercayaan pada tanah airnya sebelum tank Rusia memasuki Ukraina.

Namun saat perang antara kedua negara itu meletus, rasa kecewa yang dipendam oleh ahli bedah Rusia itu sudah tidak dapat dibendung lagi sehingga dia memutuskan untuk melarikan diri.

Saat menunggu dalam antrean mobil di perbatasan dengan Estonia, pria berusia 61 tahun ini meninggalkan kehidupan bersama istri dan tiga anaknya yang nyaman di Moskow. Ia bertekad untuk menggunakan keterampilan medisnya untuk membantu warga Ukraina.

"Ini adalah pilihan yang bermoral dan etis. Kami ingin melakukan yang terbaik untuk membuat Ukraina menang lebih cepat," kata ahli bedah ortopedi itu kepada AFP di sebuah rumah sakit militer di Kyiv.

“Dan kami akan berhenti menjalani perang ini hanya ketika perang berakhir sesuai dengan keinginan Ukraina,” kata dokter berkacamata, berambut abu-abu yang mengenakan pakaian jaganya yang berwarna biru.

Dokter Rusia, Andrei Volna (kiri), dan Petro Nikitin (kanan), kepala departemen traumatologi dari Ukraina, memeriksa pasien di rumah sakit militer di ibu kota Ukraina, Kyiv pada 26 Januari 2024. (Foto: Sergei SUPINSKY/AFP)

Invasi Presiden Vladimir Putin ke Ukraina pada Februari 2022 memicu eksodus orang Rusia karena takut ancaman penindasan dan kemudian wajib militer.

Segelintir orang seperti Volna, yang asal usul keluarganya berasal dari Ukraina, akhirnya memilih berperang melawan pasukan Rusia di garis depan atau membantu upaya perang Kyiv sebisa mungkin.

Rentetan Rudal

Volna pertama kali tiba di Kyiv pada September lalu setelah mendapatkan izin tinggal di negara Uni Eropa yang juga anggota NATO, Estonia. Ia kemudian mendapat izin untuk menjadi sukarelawan di Kyiv.

Dia menitikkan air mata saat menceritakan bagaimana ia menyaksikan prosesi pemakaman militer beberapa jam setelah melintasi perbatasan. Ia menyadari negaranya telah "membunuh pemuda itu".

Dokter Rusia, Andrei Volna (tengah) melakukan operasi tentara Ukraina berusia 35 tahun, yang kehilangan sebagian kakinya, Kyiv, 27 Januari 2024. (Foto: Sergei SUPINSKY/AFP)

Dan malam itu, sirene serangan udara bergema di Kyiv selama serangan rudal Rusia. Volna mengibaratkan ledakan yang menggelegar dan kilatan cahaya melalui jendela dengan "diskotek setan".

"Sejak malam pertama saya di Kyiv, saya mengerti seperti apa perang ini di sini. Warga Rusia menunjukkannya kepada saya," katanya kepada AFP.

Kehidupannya di kampung halaman mencerminkan pergolakan politik yang mencapai puncaknya pada invasi, dan perlawanannya terhadap Kremlin dimulai jauh sebelum perang.

Dia mengatakan dia ditekan untuk meninggalkan pekerjaan di sebuah klinik pada 2016 karena berbicara secara terbuka menentang aneksasi Krimea oleh Rusia pada dua tahun sebelumnya.

BACA JUGA: Navalny Akui 'Baik-baik Saja' Setelah Pindah Penjara

Dia kemudian membantu kritikus Kremlin, Alexei Navalny, untuk membuktikan bahwa pemimpin oposisi itu diracuni dengan agen saraf Novichok pada 2020, meskipun dia bukan pendukung Navalny.

Ketika Navalny memulai mogok makan setelah ditahan atas tuduhan penipuan lama, Volna bergabung dengan kelompok profesional medis yang peduli dengan kesehatannya.

Keputusannya untuk meninggalkan Moskow dipicu oleh informasi dari pasien yang terkait dengan lembaga peradilan dan keamanan bahwa pihak berwenang sedang mempersiapkan kasus terhadapnya berdasarkan undang-undang baru yang melarang kritik terhadap perang.

Kini di Kyiv, ia fokus pada merawat tentara yang mengalami patah tulang akibat ledakan besar.

Dia merenungkan apakah pengalaman itu merupakan bagian dari rencana kekuatan yang lebih tinggi "sehingga selama perang ini saya dapat mendukung rekan-rekan saya di Ukraina dan pasien saya di Ukraina. Saya tidak tahu."

Dokter Rusia, Andrei Volna (tengah) saat melakukan operasi terhadap tentara Ukraina berusia 35 tahun, yang kehilangan sebagian kakinya selama pengepungan Rusia terhadap Mariupol, 27 Januari. 2024. (Foto: Sergei SUPINSKY/AFP)

Putin 'Tak Punya Empati

Sikap politik Volna yang vokal dan rasa hormat di antara rekan-rekannya telah membantunya mendapatkan kepercayaan dari pasiennya, terlepas dari kewarganegaraannya.

Seorang tentara Ukraina berusia 35 tahun bernama Mykola, yang kakinya robek saat Rusia melakukan pengepungan yang menghancurkan kota pelabuhan Mariupol, mengatakan dia percaya pada kesetiaan dan keahlian Volna.

“Jika saya tidak percaya padanya, saya tidak akan berada di sini,” kata Mykola kepada AFP. Ia terbaring di bangsal kumuh yang berbau pembersih industri, sementara prajurit lainnya yang terluka kehilangan anggota badannya.

Petro Nikitin, kepala departemen trauma, berteman dengan Volna selama lebih dari satu dekade dan membantunya mendapatkan izin untuk bekerja di Ukraina setelah perang pecah.

BACA JUGA: Ukraina Berhasil Serang Kilang Minyak Rusia

“Pertama kali dia masuk, dia langsung menuju ruang operasi,” kata Nikitin, 61 tahun, kepada AFP.

Volna mengatakan dia bingung dengan keputusan presiden Rusia yang melancarkan konflik destruktif, yang korbannya kini dia coba selamatkan.

“Saya tidak mengerti Putin. Dia sama sekali tidak punya empati,” kata ahli bedah tersebut.

Namun dia mengatakan Rusia secara kolektif bertanggung jawab atas kegagalan mereka menghentikan Putin, mantan agen KGB itu, dalam upayanya menciptakan perang, sebuah beban yang menurutnya akan dia pikul "seumur hidup saya".. [ah/rs]