Sepuluh tahun sejak serangan terorisme di Bali, serangan ternyata meningkat jumlahnya dan target bukan lagi orang Barat dan simbol Amerika.
Sepuluh tahun setelah serangan teroris di dua klab malam di Bali yang menewaskan lebih dari 200 orang, kebanyakan turis asing, Indonesia mendapat pujian internasional karena upaya untuk melawan terorismenya. Organisasi-organisasi militan telah terpecah dan banyak dari pemimpin mereka yang karismatik telah dibunuh atau dipenjara.
Namun data menunjukkan bahwa jumlah serangan di dalam negeri ternyata meningkat, terutama sejak 2010, ketika para imam radikal menyeru pengikutnya untuk fokus pada target domestik daripada orang Barat. Serangan-serangan baru-baru ini dilakukan dengan keahlian yang lebih rendah, dan sebagian besar korban adalah orang Indonesia.
“Masalah terorisme di Indonesia ternyata belum selesai,” ujar Mayjen Tito Karnavian, mantan pejabat antiterorisme yang baru ditunjuk menjadi kepala polisi daerah Papua. “Kualitas serangannya menurun, namun jumlahnya meningkat.”
Sejak 12 Oktober 2002, ketika serangan di Bali menewaskan 202 orang – termasuk 88 warga Australia dan tujuh orang Amerika – telah ada empat serangan teror besar yang menargetkan orang Barat di Indonesia, yang menewaskan 45 orang. Terakhir adalah pada 2009, dengan adanya ledakan bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta yang membunuh tujuh orang.
Di luar itu, ada 15 serangan terhadap pihak berwajib, pemerintah lokal, umat Kristen dan kelompok moderat Muslim dalam waktu dua tahun. Serangan-serangan tersebut menewaskan 11 orang, semuanya polisi, dan melukai puluhan warga sipil.
Meski target-targetnya telah berubah, metode untuk merekrut pria muda tetap sama. Mereka diindoktrinasi untuk percaya bahwa “pengantin” jihadis akan mendapatkan hadiah dari Tuhan karena bertindak sebagai martir. Hadiah tersebut adalah surga bagi para pengebom dan 70 anggota keluarga serta 72 bidadari perawan. Kepercayaan ini ditolak oleh sebagian besar umat Muslim.
Fadlan, pemuda militan yang pernah dipenjara, dilatih sebagai pengebom bunuh diri pada 2001 oleh Jamaah Islamiah, kelompok yang terkait al-Qaida yang mengirim dua pengebom lainnya ke klab malam di Bali pada Sabtu malam yang padat. Ia memberitahu kantor berita AP bahwa mentornya, Imam Samudra, salah satu dari otak di balik plot tersebut, menganggap terlalu berisiko untuk menyuruh Fadlan dalam serangan itu karena ia telah dikejar polisi karena pengeboman sebelumnya.
Saat ini, Fadlan yakin bahwa ia sudah ada di surga jika ia yang dipilih saat itu.
"Saya masih meyakininya.. karena itu tidak dijanjikan oleh yang merekrut saya, tapi oleh Tuhan,” ujar Fadlan lirih di sebuah masjid dekat rumahnya di Jakarta Pusat.
Fadlan dipenjara selama empat tahun pada 2006 setelah ditemukan bersalah karena melindungi para teroris, termasuk Noordin M. Top, yang merupakan militan paling dicari di Asia Tenggara sebelum polisi membunuhnya pada 2009. Fadlan dibebaskan karena berkelakuan baik pada tahun yang sama dan sekarang menjadi bagian dari program deradikalisasi pemerintah yang dirancang untuk mereformasi para ekstremis yang pernah dihukum.
Ia mengatakan pada AP bahwa ia terlibat dalam dua pengeboman gereja di Jakarta Timur pada 2001 yang melukai lebih dari 70 umat. Ia tidak pernah dihukum karena dua insiden tersebut akibat kurangnya bukti.
Sekarang berusia 36 tahun, Fadlan mengatakan ia tidak terlibat aktif dengan kelompok militan manapun di Indonesia dan tidak lagi tertarik menjadi pengantin karena negara ini tidak lagi dilihat sebagai medan pertempuran untuk perang suci.
Namun ia tersenyum lebar ketika ditanya apakah ia masih bersedia menjadi pengebom bunuh diri jika diminta.
“Tidak ada yang menolak hadiah di surga, bukan?” ujarnya. “Namun saya seperti hidup dalam akuarium besar sekarang.. pihak berwajib melihat ke mana saya pergi, dan saya tidak dapat pergi ke luar negeri.”
Sebuah titik balikbagi kelompok-kelompok teroris di Indonsia datang pada 2010, ketika polisi merazia kamp jihad paramiliter yang tersembunyi di pegunungan di Aceh. Penggerebekan anti-terorisme yang menyusul kemudian menewaskan atau menangkap lebih dari 100 orang tersangka.
Satu lagi terduga otak di balik pengeboman Bali, Dulmatin, ditembak mati dalam sebuah penggerebekan. Ulama Muslim radikal Abu Bakar Bashir ditangkap dan tahun lalu divonis 15 tahun penjara.
Hal tersebut membuat para pemimipin kelompok agama ekstremis memerintahkan anggota militan untuk mengubah misi mereka. Daripada menyerang orang Barat dan simbol-simbol Amerika, mereka diarahkan menargetkan ‘orang kafir’ Indonesia seperti polisi, pasukan anti-terorisme, anggota DPR dan yang lainnya yang dianggap menghalangi perubahan negara yang sekuler menjadi negara syariah.
Data Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menunjukkan bahwa lebih dari 700 militan telah ditangkap dalam lebih dari 10 tahun terakhir, termasuk 84 orang tahun lalu. Puluhan orang terbunuh sejak pengeboman di Bali.
Meski jumlah serangan teroris domestik telah meningkat, pengebom bunuh diri sepertinya akan beraksi sendiri atau dalam kelompok yang lebih kecil dibandingkan di masa lalu.
"Saya kira tidak ada satu orang pun yang merupakan wajah terkini dari terorisme di Indonesia,” ujar Ken Conboy, ahli terorisme Asia Tenggara yang berbasis di Jakarta.
“Para teroris sekarang sudah terpecah dalam sel-sel kecil yang hanya memiliki kontak sekilas, kalaupun ada, dengan satu sama lain.”
Kurangnya organisasi membuat mereka sulit melakukan serangan besar. Tahun lalu seorang pengebom bunuh diri meledakkan dirinya di dalam sebuah masjid yang dipenuhi polisi, melukai 30 orang, dan seorang lagi yang meledakkan bom di sebuah gereja di Solo, Jawa Tengah, mati seketika dan melukai 22 umat Kristen.
Bulan lalu, polisi menahan 10 militan Islam dan menyita selusin bom buatan tangan dari sebuah kelompok yang diduga merencanakan serangan bunuh diri terhadap pasukan keamanan dan ledakan di gedung DPR. Terduga pembuat bom tersebut, Muhammad Toriq, menyerahkan diri kepada polisi sambil memakai rompi bunuh diri yang kosong.
Bahan peledak yang disita adalah bom pipa, yang berbahaya namun tidak sedahsyat yang dipakai di Bali 10 tahun lalu. Namun para pengebom bunuh diri lainnya masih menjadi buronan.
Pada Maret, pihak berwajib menerima informasi intelijen bahwa paling tidak ada satu “mempelai” jihadis yang tiba di Bali. Mereka menemukan nota yang ditulisnya kepada keluarganya, yang mengatakan bahwa ia akan melaksanakan misi bunuh diri dengan restu Tuhan dan bahwa keluarganya akan bertemu kembali di surga, uajr Ansyaad Mbai, yang mengepalai lembaga anti-terorisme.
Pasukan keamanan menewaskan lima tersangka yang diyakini merencanakan beberapa perampokan bersenjata di Bali untuk mendanai aktivitas-aktivitas teroris. Namun sang mempelai lolos, dan tidak jelas serangan apa yang ia rencanakan atau apakah masih ada upaya untuk itu. (AP/Niniek Karmini)
Namun data menunjukkan bahwa jumlah serangan di dalam negeri ternyata meningkat, terutama sejak 2010, ketika para imam radikal menyeru pengikutnya untuk fokus pada target domestik daripada orang Barat. Serangan-serangan baru-baru ini dilakukan dengan keahlian yang lebih rendah, dan sebagian besar korban adalah orang Indonesia.
“Masalah terorisme di Indonesia ternyata belum selesai,” ujar Mayjen Tito Karnavian, mantan pejabat antiterorisme yang baru ditunjuk menjadi kepala polisi daerah Papua. “Kualitas serangannya menurun, namun jumlahnya meningkat.”
Sejak 12 Oktober 2002, ketika serangan di Bali menewaskan 202 orang – termasuk 88 warga Australia dan tujuh orang Amerika – telah ada empat serangan teror besar yang menargetkan orang Barat di Indonesia, yang menewaskan 45 orang. Terakhir adalah pada 2009, dengan adanya ledakan bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta yang membunuh tujuh orang.
Di luar itu, ada 15 serangan terhadap pihak berwajib, pemerintah lokal, umat Kristen dan kelompok moderat Muslim dalam waktu dua tahun. Serangan-serangan tersebut menewaskan 11 orang, semuanya polisi, dan melukai puluhan warga sipil.
Meski target-targetnya telah berubah, metode untuk merekrut pria muda tetap sama. Mereka diindoktrinasi untuk percaya bahwa “pengantin” jihadis akan mendapatkan hadiah dari Tuhan karena bertindak sebagai martir. Hadiah tersebut adalah surga bagi para pengebom dan 70 anggota keluarga serta 72 bidadari perawan. Kepercayaan ini ditolak oleh sebagian besar umat Muslim.
Fadlan, pemuda militan yang pernah dipenjara, dilatih sebagai pengebom bunuh diri pada 2001 oleh Jamaah Islamiah, kelompok yang terkait al-Qaida yang mengirim dua pengebom lainnya ke klab malam di Bali pada Sabtu malam yang padat. Ia memberitahu kantor berita AP bahwa mentornya, Imam Samudra, salah satu dari otak di balik plot tersebut, menganggap terlalu berisiko untuk menyuruh Fadlan dalam serangan itu karena ia telah dikejar polisi karena pengeboman sebelumnya.
Saat ini, Fadlan yakin bahwa ia sudah ada di surga jika ia yang dipilih saat itu.
"Saya masih meyakininya.. karena itu tidak dijanjikan oleh yang merekrut saya, tapi oleh Tuhan,” ujar Fadlan lirih di sebuah masjid dekat rumahnya di Jakarta Pusat.
Fadlan dipenjara selama empat tahun pada 2006 setelah ditemukan bersalah karena melindungi para teroris, termasuk Noordin M. Top, yang merupakan militan paling dicari di Asia Tenggara sebelum polisi membunuhnya pada 2009. Fadlan dibebaskan karena berkelakuan baik pada tahun yang sama dan sekarang menjadi bagian dari program deradikalisasi pemerintah yang dirancang untuk mereformasi para ekstremis yang pernah dihukum.
Ia mengatakan pada AP bahwa ia terlibat dalam dua pengeboman gereja di Jakarta Timur pada 2001 yang melukai lebih dari 70 umat. Ia tidak pernah dihukum karena dua insiden tersebut akibat kurangnya bukti.
Sekarang berusia 36 tahun, Fadlan mengatakan ia tidak terlibat aktif dengan kelompok militan manapun di Indonesia dan tidak lagi tertarik menjadi pengantin karena negara ini tidak lagi dilihat sebagai medan pertempuran untuk perang suci.
Namun ia tersenyum lebar ketika ditanya apakah ia masih bersedia menjadi pengebom bunuh diri jika diminta.
“Tidak ada yang menolak hadiah di surga, bukan?” ujarnya. “Namun saya seperti hidup dalam akuarium besar sekarang.. pihak berwajib melihat ke mana saya pergi, dan saya tidak dapat pergi ke luar negeri.”
Sebuah titik balikbagi kelompok-kelompok teroris di Indonsia datang pada 2010, ketika polisi merazia kamp jihad paramiliter yang tersembunyi di pegunungan di Aceh. Penggerebekan anti-terorisme yang menyusul kemudian menewaskan atau menangkap lebih dari 100 orang tersangka.
Satu lagi terduga otak di balik pengeboman Bali, Dulmatin, ditembak mati dalam sebuah penggerebekan. Ulama Muslim radikal Abu Bakar Bashir ditangkap dan tahun lalu divonis 15 tahun penjara.
Hal tersebut membuat para pemimipin kelompok agama ekstremis memerintahkan anggota militan untuk mengubah misi mereka. Daripada menyerang orang Barat dan simbol-simbol Amerika, mereka diarahkan menargetkan ‘orang kafir’ Indonesia seperti polisi, pasukan anti-terorisme, anggota DPR dan yang lainnya yang dianggap menghalangi perubahan negara yang sekuler menjadi negara syariah.
Data Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menunjukkan bahwa lebih dari 700 militan telah ditangkap dalam lebih dari 10 tahun terakhir, termasuk 84 orang tahun lalu. Puluhan orang terbunuh sejak pengeboman di Bali.
Meski jumlah serangan teroris domestik telah meningkat, pengebom bunuh diri sepertinya akan beraksi sendiri atau dalam kelompok yang lebih kecil dibandingkan di masa lalu.
"Saya kira tidak ada satu orang pun yang merupakan wajah terkini dari terorisme di Indonesia,” ujar Ken Conboy, ahli terorisme Asia Tenggara yang berbasis di Jakarta.
“Para teroris sekarang sudah terpecah dalam sel-sel kecil yang hanya memiliki kontak sekilas, kalaupun ada, dengan satu sama lain.”
Kurangnya organisasi membuat mereka sulit melakukan serangan besar. Tahun lalu seorang pengebom bunuh diri meledakkan dirinya di dalam sebuah masjid yang dipenuhi polisi, melukai 30 orang, dan seorang lagi yang meledakkan bom di sebuah gereja di Solo, Jawa Tengah, mati seketika dan melukai 22 umat Kristen.
Bulan lalu, polisi menahan 10 militan Islam dan menyita selusin bom buatan tangan dari sebuah kelompok yang diduga merencanakan serangan bunuh diri terhadap pasukan keamanan dan ledakan di gedung DPR. Terduga pembuat bom tersebut, Muhammad Toriq, menyerahkan diri kepada polisi sambil memakai rompi bunuh diri yang kosong.
Bahan peledak yang disita adalah bom pipa, yang berbahaya namun tidak sedahsyat yang dipakai di Bali 10 tahun lalu. Namun para pengebom bunuh diri lainnya masih menjadi buronan.
Pada Maret, pihak berwajib menerima informasi intelijen bahwa paling tidak ada satu “mempelai” jihadis yang tiba di Bali. Mereka menemukan nota yang ditulisnya kepada keluarganya, yang mengatakan bahwa ia akan melaksanakan misi bunuh diri dengan restu Tuhan dan bahwa keluarganya akan bertemu kembali di surga, uajr Ansyaad Mbai, yang mengepalai lembaga anti-terorisme.
Pasukan keamanan menewaskan lima tersangka yang diyakini merencanakan beberapa perampokan bersenjata di Bali untuk mendanai aktivitas-aktivitas teroris. Namun sang mempelai lolos, dan tidak jelas serangan apa yang ia rencanakan atau apakah masih ada upaya untuk itu. (AP/Niniek Karmini)