Milisi Hezbollah yang didukung Iran di Lebanon mengatakan pihaknya menarget pangkalan Mount Meron milik Israel Selasa lalu (23/1), serangan kedua terhadap pos militer itu dalam beberapa hari terakhir ini.
Kantor berita nasional Lebanon melaporkan, tak lama setelah serangan itu, beberapa pesawat tempur Israel menembakkan misil ke distrik Bint Jbeil, Nabatieh dan Iqlim al-Tuffah di Lebanon selatan yang menghancurkan rumah-rumah dan mencederai beberapa orang, demikian dilaporkan kantor berita nasional Lebanon.
Bentrokan perbatasan ini memaksa warga di kedua sisi perbatasan mengungsi.
Berbicara di Dewan Hubungan Luar Negeri di New York minggu ini, penjabat Menteri Luar Negeri Lebanon Abdullah Bou Habib, mengaitkan pemboman udara itu dengan perang di Gaza.
“Ini pertempuran kecil dan saya rasa maksudnya bukan untuk mengarah ke perang yang besar. Ini juga berkaitan dengan apa yang terjadi di Gaza, ini tidak bisa diterima oleh dunia Arab maupun seluruh dunia,” jelasnya.
Direktur Pusat Penelitian untuk Kerja Sama dan Perdamaian di Beirut, Dania Koleilat Khatib merujuk pada pembunuhan yang disasarkan terhadap para pemimpin Hezbollah dan Hamas di Lebanon, seperti Wissam al-Tawil dan Saleh Arouri, sebagai pemicu yang berpotensi meletupkan konflik yang lebih luas dengan Hezbollah.
Khatib mengatakan Hizbullah “mengusik” Israel tetapi sebenarnya tidak menghendaki eskalasi. Eskalasi dapat tetap terjadi jika Amerika tidak berupaya meredam langkah-langkah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Saya rasa militer Israel tidak berminat masuk ke Lebanon karena tahu mereka tidak akan bisa menang. Mereka bisa menghancurkan Beirut, tetapi mereka tidak bisa menghancurkan Hizbullah. Tetapi saya melihat konflik ini akan terus meningkat, kecuali ada tekanan dari AS,” komentarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Profesor Filippo Dionigi dari University of Bristol di Inggris kepada TV France24 mengatakan, pembunuhan yang ditargetkan oleh Israel sudah melampaui aturan kontak yang ada dan membuka peluang bagi peningkatan yang lebih besar.
"Kemungkinan lainnya adalah terjadinya kesalahan, reaksi berlebihan yang melibatkan warga sipil dalam jumlah yang lebih besar daripada yang sudah terjadi. Hal itu dapat menciptakan konsekuensi yang tidak diinginkan di kedua sisi konflik dan oleh karena itu membuka kemungkinan eskalasi yang lebih besar dan bahkan kemungkinan perang habis-habisan, yang merupakan sesuatu yang jelas-jelas disampaikan oleh Israel dan Hizbullah,” jelasnya.
Pengamat lain mengatakan krisis ekonomi yang parah di Lebanon berarti dorongan untuk terjun ke dalam perang dengan Israel akan sangat kecil dan Hizbullah berisiko akan menghadapi kemarahan publik yang signifikan apabila itu terjadi.
Tobias Borck, peneliti di Royal United Services Institute di London memperingatkan di penerbitan MailOnline, “saya rasa semakin lama konflik ini berlangsung, semakin besar risiko akan terjadi kesalahan.” [jm/em]