Aksi kekerasan mencemari pemungutan suara di Irak hari Rabu (30/4), di mana sedikitnya dua orang perempuan tewas di sebuah TPS di kota Kirkuk, ketika para pemilih memberikan suara dalam pemilu parlemen.
Warga Irak hari Rabu (30/4) memberikan suara dalam pemilu parlemen pertama sejak penarikan mundur tentara Amerika tahun 2011. Keamanan berada dalam kondisi siaga penuh di seluruh negara, yang mengalami kenaikan tajam kekerasan etnis dan sektarian.
Di kota Kirkuk – yang dihantam ledakan maut yang menewaskan dua orang perempuan hari Rabu (30/4) dini hari – para pemilih berharap pemerintah baru akan dapat menciptakan stabilitas.
“Kami meminta pemerintah baru membantu membangun demokrasi dan kebebasan di Irak, tanpa perbedaan antar kelompok etnis dan sekte, dan kami menyerukan kepada mereka agar membentuk pemerintah baru sesegera mungkin untuk mengalahkan terorisme,” harap Mohammed, seorang warga Kirkuk.
Sembilan ribu kandidat memperebutkan 328 kursi, dimana partai pimpinan perdana menteri saat ini, Nouri Al Maliki, menduduki posisi paling kuat .
Al Maliki berharap bisa kembali berkuasa untuk ketiga kalinya dan mengingatkan konsekuensi bagi mereka yang memboikot pemilu tersebut.
“Mereka yang ikut serta dalam pemilu ini berhak memonitor dan menyampaikan pertanyaan, sebaliknya mereka yang tidak ikut serta, tidak punya hak,” kata Maliki.
Pemungutan suara ini diboikot oleh kelompok pemberontak Sunni – salah satu faksi anti-Maliki yang menuduhnya memonopoli kekuasaan dan memperdalam perpecahan.
Jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, Maliki mungkin akan dapat harus berkoalisi dengan partai-partai lain, termasuk yang berupaya melegalisasi perkosaan perempuan oleh suami mereka dan menurunkan batas usia minimum perkawinan bagi anak perempuan dari 18 tahun menjadi 9 tahun.
Beberapa analis khawatir perundingan membentuk koalisi itu bisa berlarut-larut sebagaimana yang terjadi tahun 2010 ketika Irak tidak memiliki pemerintahan baru selama berbulan-bulan.
Tetapi beberapa pemilih berharap pemilu kali ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah dalam negeri Irak, tetapi juga masalah geopolitik yang jauh lebih besar.
“Kami ingin memilih pemerintah dan parlemen yang kami inginkan. Kami ingin memilih berdasarkan keinginan kami sendiri dan bukan kemauan pihak luar,” kata Jaleel.
Pasukan Amerika mungkin sudah ditarik tetapi Amerika tetap mendesakkan terbentuknya pemerintah federal Irak yang bersatu, sementara para pemain di kawasan membuat terobosan.
Pemimpin-pemimpin Syiah di Iran mendukung pemerintah yang sekarang, sementara Arab Saudi memihak pada elemen-elemen Sunni – seperti dinamika yang tampak di Suriah, dimana perang saudara telah semakin terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi Irak.
Di kota Kirkuk – yang dihantam ledakan maut yang menewaskan dua orang perempuan hari Rabu (30/4) dini hari – para pemilih berharap pemerintah baru akan dapat menciptakan stabilitas.
“Kami meminta pemerintah baru membantu membangun demokrasi dan kebebasan di Irak, tanpa perbedaan antar kelompok etnis dan sekte, dan kami menyerukan kepada mereka agar membentuk pemerintah baru sesegera mungkin untuk mengalahkan terorisme,” harap Mohammed, seorang warga Kirkuk.
Sembilan ribu kandidat memperebutkan 328 kursi, dimana partai pimpinan perdana menteri saat ini, Nouri Al Maliki, menduduki posisi paling kuat .
Al Maliki berharap bisa kembali berkuasa untuk ketiga kalinya dan mengingatkan konsekuensi bagi mereka yang memboikot pemilu tersebut.
“Mereka yang ikut serta dalam pemilu ini berhak memonitor dan menyampaikan pertanyaan, sebaliknya mereka yang tidak ikut serta, tidak punya hak,” kata Maliki.
Pemungutan suara ini diboikot oleh kelompok pemberontak Sunni – salah satu faksi anti-Maliki yang menuduhnya memonopoli kekuasaan dan memperdalam perpecahan.
Jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, Maliki mungkin akan dapat harus berkoalisi dengan partai-partai lain, termasuk yang berupaya melegalisasi perkosaan perempuan oleh suami mereka dan menurunkan batas usia minimum perkawinan bagi anak perempuan dari 18 tahun menjadi 9 tahun.
Beberapa analis khawatir perundingan membentuk koalisi itu bisa berlarut-larut sebagaimana yang terjadi tahun 2010 ketika Irak tidak memiliki pemerintahan baru selama berbulan-bulan.
Tetapi beberapa pemilih berharap pemilu kali ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah dalam negeri Irak, tetapi juga masalah geopolitik yang jauh lebih besar.
“Kami ingin memilih pemerintah dan parlemen yang kami inginkan. Kami ingin memilih berdasarkan keinginan kami sendiri dan bukan kemauan pihak luar,” kata Jaleel.
Pasukan Amerika mungkin sudah ditarik tetapi Amerika tetap mendesakkan terbentuknya pemerintah federal Irak yang bersatu, sementara para pemain di kawasan membuat terobosan.
Pemimpin-pemimpin Syiah di Iran mendukung pemerintah yang sekarang, sementara Arab Saudi memihak pada elemen-elemen Sunni – seperti dinamika yang tampak di Suriah, dimana perang saudara telah semakin terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi Irak.