Serangkaian serangan jihadis di berbagai penjuru Burkina Faso selama beberapa hari telah mengakibatkan kematian sedikitnya 32 orang, termasuk tentara dan warga sipil, kata otoritas pemerintah, Selasa (31/1).
Badan Informasi Negara Burkina Faso memposting di halaman Facebook-nya bahwa belasan tentara dan seorang warga sipil tewas, Senin (30/1), di Falagountou di wilayah Sahel sewaktu terjadi bentrokan antara militer dan jihadis. Dua puluh orang lainnya tewas dalam dua serangan selama akhir pekan di wilayah timur-tengah dan barat negara itu.
Empat orang dieksekusi Sabtu sore ketika orang-orang bersenjata mencegat mobil van mereka antara desa Tenkodogo dan Ouargaye. Pada hari Minggu, sebuah minibus penumpang yang datang dari kota di bagian barat barat, Banfora, dicegat oleh orang-orang bersenjata, kata Kolonel Jean Charles dit Yenapono Some, gubernur wilayah Cascades dalam sebuah pernyataan. Delapan perempuan dan satu lelaki dibebaskan, orang-orang lainnya diculik dan tubuh mereka yang tak bernyawa ditemukan dengan lubang peluru keesokan harinya, katanya.
Kekerasan jihadis yang terkait dengan al-Qaida dan ISIS telah menghancurkan negara Afrika Barat itu selama bertahun-tahun, menewaskan ribuan orang dan membuat hampir 2 juta orang mengungsi. Hampir 5.000 warga sipil telah tewas sejak 2015, menurut Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED).
BACA JUGA: Prancis Setuju akan Segera Menarik Pasukan dari Burkina FasoKekerasan telah menebarkan frustrasi dan ketidakpercayaan di antara penduduk dan menyebabkan dua kudeta tahun lalu. Pemimpin junta yang baru, Ibrahim Traore, yang merebut kekuasaan pada bulan September berjanji akan membendung kekerasan tetapi serangan terus meningkat.
Traore telah memobilisasi puluhan ribu pejuang sipil untuk memerangi jihadis bersama militer. Tetapi para analis mengatakan para pejuang sipil dituduh menarget warga sipil lain yang dianggap bekerja dengan para jihadis, sehingga memicu serangan balasan.
“Berbagai jenis kekejaman massal memang diperkirakan terjadi, sementara konflik diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang karena meningkatnya mobilisasi penduduk melalui program sukarelawan dan meningkatnya kecenderungan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan pertahanan dan keamanan dalam beberapa bulan terakhir,'' kata Heni Nsaibia, peneliti senior di ACLED.
“Dengan meningkatnya kekerasan negara dan kekerasan yang disetujui negara, tidak mengherankan bahwa kekerasan militan meningkat dan semakin memicu siklus serangan dan pembalasan,'' katanya. [ab/uh]