Pada 9 Juni tahun lalu, sekitar satu juta warga Hong Kong melancarkan protes damai menentang proposal undang-undang ekstradisi yang akan memungkinkan seseorang dikirim ke China untuk diadili. Mereka tidak menyadari bahwa ini adalah protes pertama dari 1.000 lebih protes lainnya dalam gerakan antipemerintah yang menjerumuskan pusat keuangan di Asia itu ke salah satu krisis terdalam sepanjang sejarahnya.
Protes-protes itu melampiaskan kemarahan dan frustrasi bertahun-tahun atas terkikisnya kebebasan di bawah 23 tahun pemerintahan China, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini sewaktu Beijing mempercepat integrasi ekonomi dan politik untuk membawa bekas koloni Inggris itu di bawah kontrol yang lebih ketat.
Gerakan ini telah menelan korban jiwa. Demonstrasi yang semula berlangsung damai ini berubah menjadi kekerasan sewaktu pemerintah dianggap menolak merespons dan polisi semakin banyak menggunakan gas air mata, peluru karet, meriam air, dan bahkan peluru tajam terhadap demonstran. Pengunjuk rasa mula-mula melemparkan benda-benda namun kemudian melemparkan bom molotov, membakar berbagai benda serta merusak bank-bank, stasiun-stasiun kereta dan toko-toko ritel yang pro-China.
BACA JUGA: Pemimpin Hong Kong: Tak Ada yang Perlu Dikhawatirkan dari UU Keamanan yang KontroversialMeskipun pemerintah Hong Kong menarik RUU ekstradisi empat bulan setelah protes awal, kebrutalan polisi dan penolakan pemerintah untuk melakukan penyelidikan independen terhadap kekerasan polisi semakin menyulut amarah demonstran, dengan sebagian melakukan aksi-aksi yang lebih radikal.
Lebih dari 8.900 orang, sekitar 40 persennya adalah pelajar dan mahasiswa, telah ditangkap dalam 1.000 lebih protes sejak Juni tahun lalu.
Meskipun banyak warga biasa Hong Kong tidak setuju dengan taktik kekerasan pada kedua belah pihak, banyak yang bersimpati pada demonstran muda yang radikal dan merasakan keputusasaan dan frustrasi mereka terhadap pemerintah yang tampak lebih tanggap terhadap Beijing daripada warga biasa. Pemimpin Hong Kong dipilih oleh komite elite beranggotakan sekitar 1.200 orang yang sebagian besar pro-Beijing. Hanya sebagian dari dewan legislatif kota itu yang dipilih oleh warga biasa. Karena didominasi oleh para anggota yang pro-Beijing, parlemen tidak memiliki kekuasaan untuk menolak RUU yang tidak popular itu. [uh/ab]