SETARA Institute menyatakan perusakan Wale Paliusan, rumah tinggal dan tempat berkumpul penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung (Laroma) itu menyebabkan sebagian besar dinding runtuh dan puingnya berhamburan ke meja makan saat keluarga sedang sarapan. Perusakan kedua kembali terjadi pada tanggal 22 Juni 2022 saat subuh dengan merobohkan pohon kelapa yang menyebabkan Wale Paliusan rata dengan tanah.
Dalam keterangan pers yang diterima VOA, SETARA mengatakan pelaku menjustifikasi rangkaian perusakan tersebut dengan stigma bahwa penghayat sesat dan menyembah setan. Berita palsu bahwa penghayat tidak memiliki dasar hukum resmi dan berbagai stigma yang menyudutkan penghayat sudah cukup lama beredar di daerah tersebut, hingga bereskalasi menjadi perusakan Wale Paliusan. Perusakan itu dilakukan seorang oknum rohaniwan, sedangkan dua orang lainnya mengintimidasi keluarga itu dengan stigma sesat dan menyembah berhala.
Rentetan perusakan ini meninggalkan trauma bagi keluarga. Berdasarkan penelusuran SETARA Institute, tiga korban saat ini masih dalam proses pemulihan dan kondisinya sangat lemah. Seorang korban bahkan sampai dua kali jatuh pingsan karena stres. Seorang anak yang melihat langsung puing-puing jatuh saat ia sedang makan juga terdampak syok.
“SETARA Institute mengecam provokasi oknum rohaniwan yang memantik dan bahkan terlibat dalam perusakan Wale Paliusan. Rohaniwan seharusnya berperan dalam merawat perdamaian, bukan justru memecahbelah dengan terlibat menyebarkan provokasi, berita palsu, dan stigma. Keterlibatan oknum rohaniwan menandakan betapa seriusnya permasalahan ini," kata peneliti kebebasan beragama/berkeyakinan SETARA Institute, Syera Anggreini Buntara dihubungi VOA, Jumat (24/6).
"Hal ini karena rohaniwan merupakan tokoh yang dihormati, dan dalam diri rohaniwan melekat wewenang moral, yang berpotensi membuat orang-orang (khususnya para pengikut/umat rohaniwan) memandang keputusan oknum rohaniwan tersebut adalah tepat dan menggerakkan mereka untuk juga berperilaku intoleran," tambahnya.
Menurutnya, penghayat Laroma resmi tercatat dalam Tanda Inventarisasi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi dengan Nomor 1145/F2/KB.02.03/2021, serta resmi diakui keberadaannya oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Surat Keterangan Nomor 009/27/Kesbangpolda/XII/2021.
BACA JUGA: Setara Institute: Kota Singkawang Paling Toleran pada 2021Kekhawatiran Penghayat Laroma
Diwawancarai VOA, Ketua Umum Lalang Rondor Malesung (Laroma), Iswan Sual menjelaskan dampak dari peristiwa itu menimbulkan kekhawatiran bagi pihaknya dalam melakukan kegiatan ritual budaya. Kini mereka mempertimbangkan untuk melakukan ritual jauh dari perkampungan masyarakat. Ritual budaya itu dilakukan sekali dalam sebulan saat bulan purnama. Jumlah penghayat Laroma diperkirakan 157 orang.
“Yah ini tiba-tiba saja begini, dulunya kami tidak khawatir sekarang kami jadi khawatir, dulu tidak takut kini jadi takut dimana kita akan melaksanakan ritus berikutnya? Nanti kalau dilaksanakan di sekretariat nanti dituduh bukan sekretariat bukan tempat ritus sementara tidak ada landasan hukum yang mengatur dimana kami harus melakukan ritus,” kata Iswan Sual.
Secara singkat Iswan Sual menjelaskan kepercayaan Malesung melakukan penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dalam bahasa daerah di sebut Apo’ Kasuruang Wangko’. Malesung mengajarkan pengikutnya untuk berbuat budi luhur kepada sesama.
“Kemudian nilai-nilai budaya sebetulnya seperti budaya yang sudah dipegang kayak mapalus kerja sama gotong royong kemudian pesan-pesan leluhur saling membantu, saling berbuat baik yah kayak begitu jadi ada pitutur-pituturnya atau nasihat-nasihat,” jelas Iswan Sual. Lalang Rondor Malesung berarti jalan lurus atau jalan benar. Malesung adalah nama lama dari Minahasa.
Intensifkan Ruang Perjumpaan dan Dialog Antariman
Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos mendorong pemerintah dan masyarakat sipil di tingkat lokal –baik provinsi, kabupaten, maupun desa- untuk mengintensifkan ruang perjumpaan dan dialog antariman yang saat ini masih minim di desa Tondei.
Dalam berbagai peristiwa, dialog antariman terbukti efektif untuk membuat masyarakat saling memahami satu sama lain dan mengikis stigma, bahkan juga efektif membuat pelaku intoleransi untuk berubah menjadi aktivis yang memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas. Meskipun dialog antariman membutuhkan waktu yang cukup panjang agar dampaknya terasa, intensifikasi dialog antariman perlu dipupuk terus-menerus sebagai modal resiliensi sosial di Desa Tondei Dua dan di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sehingga konflik-konflik bernuansa identitas dapat dicegah dan tercipta masyarakat yang solid bersama-sama merawat kebhinekaan. Selain itu diperlukan langkah tegas dalam penegakkan hukum terhadap pelaku intoleran.
BACA JUGA: Mencari Kesetaraan Posisi Agama Minoritas di Indonesia“SETARA Institute mendorong pemerintah lokal, termasuk polisi, untuk mengambil langkah tegas dalam penegakkan hukum terhadap para pelaku. Penegakan hukum diperlukan untuk memberi efek jera, sehingga pelaku tidak mengulangi tindakan intolerannya, serta mencegah orang-orang di daerah lain untuk bertindak serupa terhadap kelompok minoritas,” ujar Bonar Tigor Naipospos.
SETARA Institute mengingatkan pemerintah Desa Tondei Dua agar mengambil peran mengayomi berdasarkan Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang telah menjamin kebebasan beribadah dan berkumpul. Bahwa mayoritas maupun minoritas memiliki hak yang sama dan setara yang telah dijamin dalam Konstitusi UUD 1945. Bahwa penyelesaian konflik ini harus berkeadilan dan tidak berdasarkan mayoritarianisme.
Your browser doesn’t support HTML5
SETARA Institute juga mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, baik nasional maupun lokal, termasuk para rohaniwan, untuk lebih aktif bersuara dan menunjukkan solidaritas dalam insiden ini. Terkhusus para rohaniwan nasional dan lokal perlu aktif menyuarakan bahwa perilaku oknum rohaniwan — yang merusak Wale Paliusan — tidak dapat dibenarkan melalui ajaran agama/kepercayaan apapun, dan mengingatkan para umat agar tidak terprovokasi oleh oknum rohaniwan atau pihak-pihak manapun yang memicu intoleransi/diskriminasi. [yl/em]