Jakarta berada di peringkat pertama dalam daftar kota paling tidak toleran di Indonesia, menurut hasil penelitian kedua yang dilakukan oleh SETARA Institute for Democracy and Peace, yang dirilis Kamis (16/11).
Ibu Kota Indonesia ini hanya mendapat skor 2,30 dari rentang skor 1-7, menurut hasil penelitian. Banyaknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan berkontribusi paling banyak bagi rendahnya skorJakarta dalam hal toleransi.
“Yang kami catat, dari November 2016 sampai Oktober 2017, ada 14 peristiwa pelanggaran kebebasan beragam dan berkeyakinan di DKI Jakarta. Dan situasi itu diperparah dengan minimnya respon dalam bentuk pernyataan maupun tindakan kongkret dari pemerintah DKI Jakarta,” kata Halili Hasan, peneliti yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Yogyakarta, di Jakarta, Kamis.
SETARA kembali melakukan penelitian mengenai kota toleran, berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan pada 2015. Penelitian tentang “Kondisi Keyakinan dan kebebasan Beragama di Indonesia” yang dilakukan dua tahun lalu menunjukkan intoleransi di Indonesia semakin kuat. Tindakan intoleransi ini bahkan lebih kuat ketimbang penegakan hukum.
Posisi kedua dalam daftar sepuluh kota paling tidak toleran di Indonesia ditempati Banda Aceh dengan skor 2,90; diikuti (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,30), Yogyakarta (3,40), Banjarmasin (3,55), Makassar (3,65), Padang 3,75, dan Mataram (3,78) .
Halili mengatakan riset mengenai kota toleran ini membuat peringkat dengan menggunakan skor dari rentang 1-7. Dia menjelaskan skor 1 berarti sangat buruk, 2 (buruk), 3 (cukup buruk), 4 (netral), 5 (cukup toleran), 6 (toleran), dan 7 (sangat toleran).
Sebaliknya, hasil riset itu juga menunjukkan sepuluh kota lain di Indonesia yang memiliki tingkat toleransi tertinggi, yakni Manado, Pematangsiantar, Salatiga, Singkawang, dan Tual, masing-masing mendapat skor 5,90. Disusul Binjai, Kotamobagu, Palu, dan Tebing Tinggi dengan angka 5,80. Serta di peringkat kesepuluh adalah Surakarta dengan nilai 5,72.
Halili berharap penerbitan riset ini akan mendorong kota-kota dengan tingkat intoleransi yang tinggi untuk lebih mempromosikan praktek toleransi di kotanya masing-masing.
Empat variabel yang menjadi alat ukur untuk menentukan sebuah kota layak disebut sebagai kota yang toleran adalah pertama, pemerintah kota tersebut memiliki regulasi kondusif bagi praktek dan promosi toleransi – baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan; kedua, pejabat pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktek dan promosi toleransi.
Varibel ketiga adalah tingkat peristiwa dan pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di kota itu rendah atau bahkan tidak ada sama sekali; dan keempat, menunjukkan upaya yang memadai dalam tata kelola keberagaman dan identitas keagamaan warganya.
Pemprov DKI Menjamin Kebebasan Beragama
Menanggapi hasil penelitian SETARA itu, Juru Bicara Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Dian Ekowati, menolak jika dikatakan Jakarta sebagai kota yang paling tidak toleran di Indonesia.
Dia mengakui pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu memang ada sedikit peristiwa intoleransi yang terjadi, tetapi hal itu tidak bisa dijadikan penilaian secara keseluruhan.
Kondisi yang sebenarnya, kata Dian, Pemerintah Daerah DKI Jakarta selalu menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hingga kini, tambah dia, yang terjadi justru antar umat beragama di Jakarta saling menghormati satu sama lain.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan telah memiliki Forum Kerukunan Umat beragama yang terdiri dari tokoh–tokoh agama yang ada. Program Pemprov DKI ini lanjutnya dibuat untuk memperkokoh hubungan antar umat beragama atau masyarakat.
“Kita menyepakati bahwa tidak ada kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang keluar pada kerukunan umat beragam. Kami berkomitmen dan Pemerintah Provinsi DKI mewadahi itu semua. Sampai sekarang, kondisinya justru di Jakarta saling mendukung. Misalnya, kemarin ada peringatan agama apa, agama lain membantu agar itu terlaksana dengan baik,” kata Dian menjelaskan.
Henry Simarmata, tenaga ahli utama di Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPP), berharap SETARA Institute terus melanjutkan penelitiannya mengenai kota toleran di Indonesia, karena bisa menjadi bahan masukan bagi kelompok masyarakat dan penyelenggara negara di tingkat pusat ataupun daerah.
Menurut Henry, pelaksanaan riset tentang kota toleran ini memang sangat beralasan, karena kota lebih mempunyai keberagaman dibanding desa. Secara khusus, Henry menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kolom agama diisi dengan aliran kepercayaan selain enam agama resmi yang diakui di Indonesia.
“Keputusan Mahkamah Konstitusi ini akan membawa perubahan. Yang kita bayangkan adalah kota-kota yang sudah mencapai skor ini (sepuluh kota paling toleran), harus membangun daya tahan yang lebih baik, mengingat keputusan ini tidak mudah diwujudkan di lapangan, meski keputusan ini sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap),” kata Henry.
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, menegaskan hasil riset SETARA soal kota toleran di Indonesia bertujuan agar pemerintah kota bisa menjadikan bahan evaluasi mengenai program, kebijakan, dan tindakan dalam mendorong toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan di kotanya masing-masing.
Your browser doesn’t support HTML5