Setelah Jeda 6 Tahun, Festival Arak-arakan Kuil Kembali Digelar di Tokyo

  • Associated Press

Arak-arakan "mikoshi" di Kuil Ushijima, Tokyo, 8 September 2023. (Twitter/ushijima_jinja)

Sebuah kuil di Tokyo, Jepang, menjadi tuan rumah festival arak-arakan kuil yang mempertemukan dan mempersatukan penduduk kota metropolitan  itu.  Festival lima tahunan ini sempat dibatalkan tahun lalu karena pandemi virus corona. 

Puncak acara di Kuil Ushijima di Tokyo itu adalah prosesi 48 kuil portabel suci yang disebut mikoshi dalam bahasa setempat. Kuil-kuil itu diusung beberapa ratus peserta festival yang memang sering beribadah di Ushijima.

Beberapa dari mikoshi ini telah teruji oleh waktu, selamat dari serangan udara Perang Dunia II dan gempa bumi besar Kanto tahun 1923 yang terkenal sangat menghancurkan.

Masataro Monobe, seorang guru sekolah menengah yang menjadi pengusung, menjelaskan bahwa mikoshi adalah tempat tinggal dewa. Ia mengatakan, mikoshi-mikoshi yang diarak ini bukanlah struktur yang baru dibuat menjelang penyelenggaraan festival, melainkan struktur kuno.

Mikoshi ini dibuat oleh desainer lokal pada awal tahun 1920-an sebelum Perang Dunia II. Selama perang itu, bangunan ini dipindahkan ke pedesaan untuk menghindari serangan udara, itulah sebabnya bangunan ini masih utuh,” jelasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Setelah Jeda 6 Tahun, Festival Arak-arakan Kuil Kembali Digelar di Tokyo

Monobe lebih jauh menjelaskan bahwa festival ini adalah kegiatan berkeliling membawa para dewa.

Dalam ajaran Shinto, dewa penghuni sebuah kuil hanya dapat dibawa berkeliling dengan bangunan yang bentuknya serupa atau versi miniaturnya.

“Biasanya, orang-orang hanya bisa bertemu dengan para dewa saat mereka berkunjung ke kuil, tapi pada festival ini, para dewa yang justru datang untuk mengunjungi mereka,” jelasnya.

Menjelang festival ini, sejumlah sapi yang disucikan digiring ke semua lokasi penyimpanan mikoshi.

Tradisi unik ini berkisar pada kepercayaan bahwa sapi-sapi ini berfungsi sebagai medium yang bisa memindahkan roh para dewa ke setiap mikoshi.

Di antara para pengusung mikoshi adalah Michele Malvisi, seorang pekerja kantoran asal Italia yang sering berpartisipasi dalam acara serupa di berbagai penjuru Jepang. Ia mengatakan, mengusung mikoshi tidaklah mudah mengingat beratnya yang bisa mencapai satu ton, tapi itu tidak membuatnya mundur.

“Bahkan jika Anda tidak bisa berbahasa Jepang, jika Anda tidak memahami komunitas ini, Anda merasa terangkul, Anda merasa menyatu dengan semua orang. Padahal, mungkin Anda belum pernah bertemu mereka sebelumnya,” jelas Malvisi.

Mengusung mikoshi ada aturannya, termasuk pakaian yang harus dikenakan. Pakaian modern tidak diperbolehkan dan setiap tim pengusung mikoshi diharuskan mengenakan seragam yang berbeda dengan tim lainnya.

Biaya pakaian itu sekitar 100 dolar AS, termasuk kaus kaki; sepatu bot; pakaian dalam tradisional Jepang mirip dengan yang dikenakan pegulat sumo di atas ring; ikat kepala; mantel; dan handuk. [ab/uh]