Anggota DPR fraksi Golkar Setya Novanto kembali tidak hadir atau memenuhi (mangkir) panggilan Kejaksaan Agung untuk ketiga kalinya terkait kasus pemufakatan jahat dalam perkara perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) Amir Yanto kepada VOA di gedung Kejaksaan Agung Jakarta Rabu (27/1) mengatakan, melalui surat yang diterima pihak penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Setya Novanto meminta adanya penundaan pemanggilan hingga 2 minggu ke depan.
"Rencana tadi kan pak Setya Novanto diundang untuk dimintai keterangan. Yang bersangkutan mengirim surat bahwa hari ini beliau belum bisa datang memenuhi undangan tim penyelidik. Beliau minta ditunda diagendakan 2 minggu lagi akan memberikan keterangan," kata Amir.
Amir Yanto mengatakan, pihak penyidik belum bisa melakukan pemanggilan paksa kepada Setya Novanto karena kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.
"Sebenarnya masalah ini masih dalam tahap penyelidikan. Penyelidikan itu adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dalam hal ini untuk dapat atau tidaknya ditingkatkan ke penyidikan. Nah dalam tahap penyelidikan itu belum ada upaya paksa (untuk dimintai keterangan)," tambah Amir.
Your browser doesn’t support HTML5
Kasus pemufakatan jahat yang diduga melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua DPR ini menurut Amir Yanto masih diteliti dan melengkapi bahan-bahan keterangan untuk naik ke tingkat penyidikan.
"Kita masih mengumpulkan bahan-bahan keterangan. Nanti oleh tim penyelidik dianalisa apakah bisa dinaikan ke penyidikan atau tidak. Kalau tidak ya berhenti (kasusnya)," ujarnya.
Sebelumnya pihak Setya Novanto melalui Razman Nasution, salah satu kuasa hukumnya membantah ada pemufakatan jahat, karena menurut Razman, Setya Novanto tidak mempunyai kewenangan terkait dengan proses perpanjangan ijin operasional PT Freeport Indonesia.
Razman mengatakan, "Sekarang saya tanya, dalam rangka apa pak Setya Novanto bisa mengeksekusi (perpanjangan ijin) Freeport? Tidak mungkin. Yang punya kewenangan itu adalah Sudirman Said. Dan itulah yang dilakukan melalui (persetujuan) ijin operasional. Nah kalau begitu patut diduga dia berkolaburasi. Kemudin dalam rangka apa Sudirman Said berbicara dengan Maruf merekam, kapasitas apa dia merekam. Kalau dia tau ada upaya pemaksaan kemudian ada permintaan saham, kenapa dia gak lapor ke KPK saja?"
Kasus dugaan permufakatan jahat berawal dari pertemuan antara Setya Novanto, Pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, di Hotel Ritz Carlton SCBD Jakarta pada 8 Juni 2015 lalu. Dalam pertemuan yang sengaja direkam oleh Maroef Sjamsoedin, terdapat pembicaraan berisi pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta saham Freeport.
Dalam rekaman pembicaraan yang diperdengarkan dalam sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR pada Desember 2015 lalu itu, terungkap juga pembicaraan bahwa Presiden akan jatuh (turun jabatan) jika tidak menyetujui perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Dalam bagian lain pembicaraan muncul ungkapan yang menyebut Presiden sebagai orang yang keras kepala. Namun seseorang (diduga Setya Novanto) dalam rekaman itu menjanjikan bahwa dia sanggup mengatasi hambatan dari Presiden tersebut.
Jaksa Agung H.M Prasetyo mengatakan, rekaman pembicaraan itu bukan saja menyangkut pencatutan nama (Presiden) tapi juga sudah bisa dijadikan pintu masuk untuk mengungkap adanya pemufakatan jahat unsur tindakan korupsi. [aw/em]