Arus mudik tampak sepi di jalur jalan tol, bandara, maupun pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Pemerintah resmi melarang warga mudik ke berbagai daerah. Aparat pemerintah daerah, Polri dan TNI memperketat perbatasan daerah masing-masing mencegah masuknya pemudik mulai 6 hingga 17 Mei mendatang.
Dalam pemberlakuan kebijakan pembatasan perjalanan pada 6-9 Mei, moda transportasi angkutan jalan turun hingga 85 persen, kereta api turun 56 persen, angkutan laut turun 32 persen, dan angkutan udara turun 93 persen.
Ketegasan pemerintah bukan tanpa alasan. Jumlah kasus harian COVID-19 kembali merangkak naik seminggu terakhir ini, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau.
Meski dilarang, masih saja ada warga yang nekat melakukan perjalanan mudik dengan berbagai cara, sebagian bahkan positif COVID-19. Seperti seorang penumpang di bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, yang nekat dan lolos mudik ke Pangkalan Bun walau terkonfirmasi positif COVID-19.
Mendengar laporan itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada 7 Mei lalu langsung mengecek prosedur sistem penanganan COVID-19 di bandara itu.
“Kok bisa bobol ini? Ini kejadiannya di Semarang. Kalau di Semarang kita yang salah. Saya tanggung jawab. Kita cari orangnya kenapa bisa bobol. Cari orangnya, kasih peringatan yang keras. Ini nggak main-main. Kalau kita bobol di penerbangan, berbahaya,” ujar Ganjar.
Tak hanya jalur udara saja yang kebobolan pemudik terkonfirmasi positif COVID-19, pemerintah kota Solo juga menemukan pemudik yang lolos hingga ke rumah keluarganya di Solo
BACA JUGA: Dilarang Mudik, 18 Juta Warga Diperkirakan Tetap Pulang KampungWali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, Selasa (11/5), mengatakan dari dua orang pemudik yang terkonfirmasi positif COVID-19, satu menjalani karantina Orang Tanpa Gejala (OTG), satu lainnya bergejala dan dirawat di rumah sakit.
"Ada 12 pemudik. Ada hasil penyekatan tapi banyak juga hasil laporan Satgas Jogo Tonggo. Dua pemudik positif COVID-19, satu dirawat di RSUD karena bergejala, satu dikarantina di Asrama Haji Donohudan Boyolali. Mereka dari Tangerang. Semua sudah kami tangani. Sisanya dikarantina di Solo Techno Park. Kebanyakan daerahnya dari Jakarta,” ujar Gibran.
Pemudik asal Tangerang tersebut berangkat menggunakan bus antarkota antarprovinsi dan turun di perbatasan Solo, kemudian berganti menggunakan taksi online menuju rumah keluarganya di Solo.
Selain menggunakan transportasi umum, ada juga modus pemudik saat menggunakan kendaraan pribadi.
Kapolresta Solo, Komisaris Besar (Kombes) Ade Safri Simanjuntak, saat ditemui di lokasi penyekatan arus mudik di Solo, Selasa (11/5) mengatakan berbagai modus ditemukan polisi saat merazia jalur arus mudik. Menurut Ade, aparat terus memperketat dan mengantisipasi modus yang digunakan pemudik.
Ade mengatakan pihaknya menemukan satu kendaraan travel gelap berisi 11 orang dari Jakarta dan Bandung, yang hendak menuju Jawa Timur. Semua penumpang menjalani tes usap atau swab dan hasilnya negatif.
Your browser doesn’t support HTML5
"Kendaraan kita sita, penumpang kita tangani untuk pulang ke daerah asalnya. Ada juga modus mengganti plat nomor kendaraan sesuai daerah, sehingga saat dirazia petugas meminta pengemudi menyerahkan STNK untuk mengecek kecocokan plat nomor kendaraan. Ada yang modus keliling kota dan kita minta KTP atau kartu identitas yang bersangkutan,” ujar Ade.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendeteksi jumlah pemudik yang masuk di Jawa Tengah sudah mencapai 632.000 orang. Dinas Perhubungan memprediksi jumlah pemudik yang nekat pulang tak jauh berbeda dengan tahun lalu yaitu sekitar 1 juta orang.
Mudik di Masa Pandemi
Pengamat sosial dari Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Akhnad Ramdhon kepada VOA mengatakan upaya pemerintah mencegah mobilisasi masyarakat untuk mudik sangat efektif.
Akhnad menilai rembesan dampak larangan mudik sekitar 5-10 persen masih wajar karena tidak semua orang bisa menerima teknologi virtual untuk menyelesaikan masalah mudik. Pasalnya, kata Akhnad, mudik buka sekadar berteu keluarga, tetapi juga kebudayaan dan mentalitas.
"Misal, keluarga pulang berkumpul, makan bersama, ziarah bersama ke makam leluhur, itu tidak tergantikan oleh teknologi virtual. Pertemuan dengan keluarga besar, jumlahnya banyak, ini juga tidak bisa dilakukan dengan teknologi,” jelas Ramdhon.
BACA JUGA: Idulfitri: Butuh Konsistensi Pemerintah dan Rasionalitas MasyarakatMenurutnya, langkah pemerintah melarang aparatur sipil negara (ASN) mudik juga efektif mengurangi mobilitas masyarakat. Menjadi tantangan pemerintah mengelola momentum kultural, yang tahun ini bahkan jatuh pada saat bersamaan, yaitu Idulfitri dan Kenaikan Isa Almasih.
"Kasus COVID-19 di India menjadi pelajaran penting. Ritual keagamaan berkumpul, kerumunan membuat lonjakan kasus. Jangan sampai hal sama terjadi di Indonesia. Momennya sangat mirip,” pungkas Ramdhon. [ys/em/ft]