Andy Hutagalung, sineas muda asal Medan berhasil meraih penghargaan utama Festival Film Dokumenter Internasional 2012, dengan karyanya "Permata di Tengah Danau".
Dua film dokumenter karya sineas muda terbaik bertema pendidikan dan lingkungan hidup di dua wilayah di Sumatera raih penghargaan bergengsi dalam Festival Film Dokumenter Internasional 2012. Malam pemberian penghargaan berlangsung di Pusat Kebudayaan Kerajaan Belanda, Erasmus Huis Jakarta.
Direktur Festival Film Dokumenter Internasional 2012 , Patar Simatupang mengatakan di Jakarta, Sabtu malam (29/9), festival kali ini merupakan penyelenggaraan tahun kedua, diikuti lebih dari seratus judul film karya para sineas muda di tanah air.
“Tujuan kami yaitu, film-film dokumenter Indonesia bisa tampil di festival-festival film dunia,tahun 2012 ini pemenang festival ini pernah ikut dalam Festival Film Indonesia (FFI), festival dokumenter Bali, Bandung dan Yogyakarta juga ikut, jadi lebih sulit mencari pemenangnya,” kataPatar Simatupang.
Karya Cineas muda Andy Hutagalung asal Medan dengan film berjudul “Permata di Tengah Danau” keluar sebagai pemenang utama. “Perhargaan ini, dedikasi (saya) kepada masyarakat Samosir, anak-anak Samosir yang cerdas dengan mengkonsumsi susu kerbaunya setiap hari. Ke depan tugas kita ditanah air mempublikasikan karya dokumenter ini kepada warga di daerah yang memang mereka belum mengerti film dokumnter itu seperti apa?,” ungkap Andy Hutagalung.
Permata di Tengah Danau, film dokumenter berdurasi 20 menit, mengisahkan sukarelawan guru yang mendirikan sanggar belajar “Sopo Belajar” dan mengabadikan kehidupan masyarakat , terutama peran sanggar bagi anak-anak usia sekolah dasar di sebuah desa terpencil di Pulau Samosir.
Pendirian sanggar ini bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi anak-anak usia sekolah dasar di desa agar memiliki akses lebih besar terhadap informasi , ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Sophia Pakpahan salah seorang anak yang ikut aktif dalam sanggar “Sopo Belajar”, Samosir . Dalam film dokumenter tersebut Sophia mengisahkan tentang beberapa hal yang membuat warga Samosir bersemangat untuk bangkit, terutama dalam penyelamatan masa depan Danau Toba dan masa depan pendidikan anak-anak Pulau Samosir, Sumatera Utara .
“Orang-orang membuang sampah ke danau Toba, sehingga danau tidak indah dan tdak enak dipandang mata. Seharusnya orang menjaga, merawat dan melestarikannya,” kata Sophia.
Karya dokumenter terbaik pilihan penonton berjudul “Pulo Aceh: Surga Yang Terabaikan" karya RA Karamullah (22) , cineas muda asal Aceh. “Film dokumenter ini dirampungkan sekitar dua tahun. Di Aceh, banyak objek wisata yang menarik jika dikelola, terutama wisata bahari, pantai, ikan dan terumbu karang yang mulai pulih setelah tsunami,” demikian papar RA Karamullah.
Menurut Karamullah, akses transportasi dan beberapa infrastruktur penting bagi masa depan pembangunan di Pulau Aceh masih minim dan perlu mendapat perhatian pemeritah pusat dan daerah.
Sementara, Deirdre Tenawin (22) salah saeorang Cineas muda dari Universitas Multimedia Nusantara Jakarta mendapat penghargaan dengan karya dokumenternya berjudul, “Sarjana Aspal (Asli Palsu).”
“Kalau kita lihat ijazah palsu sesuatu yang ilegal, tetapi iklannya itu beredar di internet dengan sangat banyak, seandainya pihak aparat mau itukan hal yang mudah untuk melacaknya,” ungkap Deirdre Tenawin.
Deirdre salah seorang pemang favorit. Beberapa penonton yang menyaksikan penanyangan film dokumenter mengatakan festival karya dokumenter agar diperbanyak frekuensinya.
Pemenang utama festival meraih piala dan piagam serta dana pembinaan dengan total mencapai Rp 150 juta , termasuk beberapa pemenang lainnya , terdiri dari 5 (lima) kategori karya favorit , serta pemenang dengan karya terbaik pilihan penonton.
Selain memperlombakan karya cineas muda Indonesia, selama hampir sepekan festival 25-29 September 2012 , penyelenggaran festival juga menanyangkan film-film karya cineas Amerika Serikat, karya film dokumenter AS mendominasi festival.
Film-film dokumenter karya Festival Film Dokumenter Internasional di Jakarta tahun ini, didukung penuh oleh sejumlah perusahaan media,Perhimpunan Koresponden Media Asing Jakarta (Jakarta Foreign Correspondent Club-JFCC), pihak swasta dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia.
International Documentary Film Festival II Jakarta, menghadirkan juri yang terdiri dari para pakar dan cineas dalam danluar negeri. Beberapa cineas sejumlah negara juga menajdi instruktur kegiatan pelatihan selama tiga belas hari bagi kaum muda pencinta film di tanah air.
Direktur Festival Film Dokumenter Internasional 2012 , Patar Simatupang mengatakan di Jakarta, Sabtu malam (29/9), festival kali ini merupakan penyelenggaraan tahun kedua, diikuti lebih dari seratus judul film karya para sineas muda di tanah air.
“Tujuan kami yaitu, film-film dokumenter Indonesia bisa tampil di festival-festival film dunia,tahun 2012 ini pemenang festival ini pernah ikut dalam Festival Film Indonesia (FFI), festival dokumenter Bali, Bandung dan Yogyakarta juga ikut, jadi lebih sulit mencari pemenangnya,” kataPatar Simatupang.
Karya Cineas muda Andy Hutagalung asal Medan dengan film berjudul “Permata di Tengah Danau” keluar sebagai pemenang utama. “Perhargaan ini, dedikasi (saya) kepada masyarakat Samosir, anak-anak Samosir yang cerdas dengan mengkonsumsi susu kerbaunya setiap hari. Ke depan tugas kita ditanah air mempublikasikan karya dokumenter ini kepada warga di daerah yang memang mereka belum mengerti film dokumnter itu seperti apa?,” ungkap Andy Hutagalung.
Permata di Tengah Danau, film dokumenter berdurasi 20 menit, mengisahkan sukarelawan guru yang mendirikan sanggar belajar “Sopo Belajar” dan mengabadikan kehidupan masyarakat , terutama peran sanggar bagi anak-anak usia sekolah dasar di sebuah desa terpencil di Pulau Samosir.
Pendirian sanggar ini bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi anak-anak usia sekolah dasar di desa agar memiliki akses lebih besar terhadap informasi , ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Sophia Pakpahan salah seorang anak yang ikut aktif dalam sanggar “Sopo Belajar”, Samosir . Dalam film dokumenter tersebut Sophia mengisahkan tentang beberapa hal yang membuat warga Samosir bersemangat untuk bangkit, terutama dalam penyelamatan masa depan Danau Toba dan masa depan pendidikan anak-anak Pulau Samosir, Sumatera Utara .
“Orang-orang membuang sampah ke danau Toba, sehingga danau tidak indah dan tdak enak dipandang mata. Seharusnya orang menjaga, merawat dan melestarikannya,” kata Sophia.
Karya dokumenter terbaik pilihan penonton berjudul “Pulo Aceh: Surga Yang Terabaikan" karya RA Karamullah (22) , cineas muda asal Aceh. “Film dokumenter ini dirampungkan sekitar dua tahun. Di Aceh, banyak objek wisata yang menarik jika dikelola, terutama wisata bahari, pantai, ikan dan terumbu karang yang mulai pulih setelah tsunami,” demikian papar RA Karamullah.
Menurut Karamullah, akses transportasi dan beberapa infrastruktur penting bagi masa depan pembangunan di Pulau Aceh masih minim dan perlu mendapat perhatian pemeritah pusat dan daerah.
Sementara, Deirdre Tenawin (22) salah saeorang Cineas muda dari Universitas Multimedia Nusantara Jakarta mendapat penghargaan dengan karya dokumenternya berjudul, “Sarjana Aspal (Asli Palsu).”
“Kalau kita lihat ijazah palsu sesuatu yang ilegal, tetapi iklannya itu beredar di internet dengan sangat banyak, seandainya pihak aparat mau itukan hal yang mudah untuk melacaknya,” ungkap Deirdre Tenawin.
Deirdre salah seorang pemang favorit. Beberapa penonton yang menyaksikan penanyangan film dokumenter mengatakan festival karya dokumenter agar diperbanyak frekuensinya.
Pemenang utama festival meraih piala dan piagam serta dana pembinaan dengan total mencapai Rp 150 juta , termasuk beberapa pemenang lainnya , terdiri dari 5 (lima) kategori karya favorit , serta pemenang dengan karya terbaik pilihan penonton.
Selain memperlombakan karya cineas muda Indonesia, selama hampir sepekan festival 25-29 September 2012 , penyelenggaran festival juga menanyangkan film-film karya cineas Amerika Serikat, karya film dokumenter AS mendominasi festival.
Film-film dokumenter karya Festival Film Dokumenter Internasional di Jakarta tahun ini, didukung penuh oleh sejumlah perusahaan media,Perhimpunan Koresponden Media Asing Jakarta (Jakarta Foreign Correspondent Club-JFCC), pihak swasta dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia.
International Documentary Film Festival II Jakarta, menghadirkan juri yang terdiri dari para pakar dan cineas dalam danluar negeri. Beberapa cineas sejumlah negara juga menajdi instruktur kegiatan pelatihan selama tiga belas hari bagi kaum muda pencinta film di tanah air.