Pengadilan Singapura pada Selasa (29/3) menolak banding terhadap eksekusi terpidana warga Malaysia terkait penyelundupan narkoba. Pengadilan menolak argumen yang diajukan oleh tim hukumnya bahwa dia harus dibebaskan karena dia mengalami gangguan mental.
Nagaenthran Dharmalingam telah menunggu hukuman mati selama lebih dari satu dekade karena menyelundupkan sekitar 42,7 gram heroin ke Singapura. Padahal negara tersebut memiliki beberapa undang-undang narkotika terberat di dunia.
Lelaki Malaysia dengan gangguan jiwa itu kini semakin dekat lagi ke eksekusinya.
Kasus narkoba Dharmalingam menyedot perhatian internasional. Sekelompok pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan miliarder Inggris Richard Branson bergabung dengan perdana menteri Malaysia dan aktivis hak asasi manusia untuk mendesak Singapura meringankan hukuman matinya. Mereka mendesak Singapura agar memberinya grasi atau mengubah hukumannya menjadi penjara seumur hidup.
BACA JUGA: Para Pakar PBB Desak Singapura Batalkan Eksekusi Warga MalaysiaPengacara Dharmalingam, Violet Netto, keberatan untuk memberikan catatan medis penjara kliennya pada sidang terakhir, dengan alasan kerahasiaan, dan sebaliknya meminta tinjauan psikiatri independen.
Namun pada sidang yang dilakukan pada Selasa (29/3), Ketua Hakim Sundaresh Menon mengatakan upaya untuk mencegah pengungkapan laporan medis tidak masuk akal dan tidak ada bukti yang dapat diterima yang menunjukkan penurunan kondisi mentalnya.
Pengadilan juga menolak permintaan untuk tinjauan psikiatri independen.
"Pembanding telah diproses secara hukum yang berlaku, dan tidak terbuka baginya untuk menantang hasil dari proses itu ketika dia tidak mengajukan apa pun untuk menunjukkan bahwa dia memiliki kondisi untuk dipertimbangkan," kata panel lima hakim dalam putusannya.
Dharmalingam, yang mengenakan seragam penjara berwarna ungu, tampaknya tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap putusan tersebut.
M Ravi, mantan pengacara Dharmalingam yang terus membantu kasus ini, mengatakan kepada wartawan bahwa terpidana itu telah kehabisan pilihan hukum untuk lolos dari hukuman mati.
Kelompok anti-hukuman mati Reprieve mengatakan mereka yakin Nagaenthran menderita cacat intelektual dan harus dilindungi dari hukuman mati.
BACA JUGA: Kemlu: 206 WNI Terancam Hukuman Mati di Luar NegeriDalam sebuah pernyataan, direktur Reprieve Maya Foa meminta Presiden Singapura Halimah Yacob "untuk mendengarkan tangisan belas kasihan di Singapura dan di seluruh dunia."
Belum jelas kapan eksekusi akan dilakukan.
Dari 2016 hingga 2019, Singapura telah menerapkan hukum gantung pada 25 orang, mayoritas karena pelanggaran terkait narkoba, menurut data resmi. [ah/rs] [uh/ab]