Mendiang mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Henry Kissinger akan dikenang di sebagian besar dunia sebagai seorang yang jenius dalam kebijakan luar negeri. Kebijakannya membawa China ke dalam panggung dunia, memisahkan Beijing dengan sekutu Perang Dinginnya, Moskow, dan pada akhirnya mentransformasi perekonomian dunia.
Di kawasan Asia Tenggara, penasihat keamanan nasional dan mantan menteri luar negeri era Presiden Nixon, yang baru saja meninggal pada usia 100 tahun minggu ini, dikenang secara berbeda.
Keterbukaan terhadap China yang direkayasa oleh Kissinger menimbulkan dampak besar bagi Thailand. Menurut mantan Perdana Menteri Thailand, Anand Panyarachun, Bangkok merasa cemas terhadap paham komunisme.
“Banyak orang Thailand tidak memahami China, mereka percaya bahwa komunis China tidak dapat dipercaya,” Anand, yang menjabat sebagai perdana menteri Thailand dari 1991 hingga 1992, mengatakan kepada VOA layanan bahasa Thai pada Mei ketika Kissinger merayakan ulang tahunnya yang ke-100.
“Saya kira hal ini bukan [hanya karena] kebijakan Kissinger” terhadap China, tetapi “juga karena hubungan antara militer Thailand dan AS” yang berfokus pada pertahanan dibandingkan hubungan diplomatik, kata Anand.
Arsitek Strategi Perang
Sementara itu, di Vietnam, Kamboja, dan Laos, Kissinger dikenang sebagai arsitek strategi perang yang menghancurkan banyak wilayah dan menewaskan banyak orang.
“Jika kita hanya fokus pada kawasan ini (Indochina -red.)… Keputusan Kissinger terkait perang di kawasan ini, tidak peduli seberapa cemerlang dia, tidak peduli betapa terampilnya dia sebagai negosiator, adalah sebuah bencana bagi ratusan ribu orang yang tidak bersalah,” kata Larry Berman, seorang profesor emeritus di Universitas California, Davis yang telah banyak menulis tentang Perang Vietnam.
“Di sinilah sejarah akan dinilai,” kata Berman kepada VOA di Vietnam pada hari Kamis.
Kamboja, Vietnam dan Laos
AS dan sekutunya menjatuhkan lebih dari 7,5 juta ton bom di Vietnam, Laos, dan Kamboja antara 1965 dan 1975 – dua kali lipat jumlah bom yang dijatuhkan di Eropa dan Asia selama Perang Dunia II, menurut situs web Storymaps.
Pada saat itu, Republik Demokratik Vietnam di utara, yang didukung oleh Uni Soviet, China, dan negara-negara komunis lainnya, sedang melawan Republik Vietnam yang didukung AS di selatan.
Para analis mengatakan bahwa kebijakan Kissinger yang bertujuan menumpas kekuatan komunis bertanggung jawab atas ratusan ribu kematian.
Vietnam Utara memindahkan pasukan dan perbekalan ke Selatan melalui Laos melalui jalur yang dikenal sebagai jalur Ho Chi Minh. Kissinger dan pejabat AS lainnya ingin hal itu diakhiri.
Dari 1964-1973, AS menjatuhkan 2,5 miliar bom di Laos, menjadikannya negara yang paling banyak dibom di dunia, menurut Legacy of War. Puluhan ribu orang terbunuh di sana.
AS menjatuhkan sekitar 500.000 ton bom di Kamboja seiring dengan perluasan operasi badan intelijen CIA di Laos hingga Kamboja, kata Erin Lin, asisten profesor Ilmu Politik di Ohio State University, dalam bukunya, “When the Bombs Stopped.” ('Ketika Pemboman Berhenti').
Pemboman tersebut menewaskan sebanyak 150.000 warga sipil Kamboja, kata sejarawan Universitas Yale Ben Kiernan, yang dikutip oleh The Washington Post.
Di Kamboja, serangan bom AS tersebut "membuat masyarakat merasa marah dan terjebak dalam kelompok pemberontakan yang sebelumnya hanya mendapat sedikit dukungan. Pemboman tersebut memicu perluasan Perang Vietnam lebih jauh ke wilayah Kamboja, menyebabkan kudeta pada 1970, pertumbuhan pesat Khmer Merah, dan akhirnya genosida di Kamboja," menurut artikel majalah Walrus di program studi genosida Universitas Yale.
Di Kamboja, Vietnam dan Laos, personel militer, anak-anak dan petani masih sering menemukan persenjataan (sisa-sisa bom) yang belum meledak lebih dari 50 tahun setelah anggota militer AS terakhir meninggalkan Vietnam pada 29 Maret 1973.
Beberapa di antaranya 'dijinakkan' oleh mereka yang tahu caranya. Namun, beberapa di antaranya juga melukai atau membunuh penemunya.
Ros Chantrabot, seorang sejarawan Khmer dan penasihat pribadi Hun Sen, perdana menteri Kamboja dari 1985-2023, mengatakan kepada VOA layanan bahasa Khmer pada Kamis bahwa “Henry Kissinger mempunyai tanggung jawab yang besar … karena melibatkan Kamboja dalam perang, yang menewaskan banyak orang dan meninggalkan banyak ranjau darat di Kamboja saat ini."
“Kenyataan yang menyedihkan adalah, dia meninggalkan warisan yang masih harus dibayar oleh banyak orang Kamboja,” kata Sophal Ear, seorang ilmuwan politik keturunan Kamboja-Amerika, kepada The Washington Post. “Sampai hari ini, masih ada orang yang… kehilangan anggota tubuh dan nyawanya saat mencoba mencari nafkah di negeri yang dipenuhi bom.”
Timor Leste
Brad Simpson, profesor di Departemen Sejarah Universitas Connecticut, mengatakan Kissinger juga bertanggung jawab mendukung invasi Indonesia ke Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1975.
Indonesia mengatakan pada saat itu bahwa aneksasi Timor Timur sangat penting untuk mencegah penyebaran komunisme.
Simpson mengatakan kepada VOA di Indonesia pada Kamis bahwa Kissinger “membantu mempercepat aliran senjata dan peralatan militer ke Indonesia pada tahun depan ketika Indonesia menghadapi perlawanan gerilya yang gigih dari pejuang bersenjata Timor Timur.”
Ia melanjutkan, "Pada saat Kissinger meninggalkan jabatannya pada awal 1977, Indonesia mungkin telah membunuh sepersepuluh penduduk Timor Timur." Pada saat itu, jumlah penduduknya adalah 619.308 jiwa, menurut Bank Dunia.
Invasi Indonesia menyebabkan pendudukan yang panjang dan berdarah di wilayah tersebut yang berakhir hanya setelah pasukan penjaga perdamaian internasional diperkenalkan pada 1999. Menurut Buku Pengarahan Elektronik Arsip Keamanan Nasional No. 62, sebanyak 200.000 orang tewas akibat konflik tersebut.[pp/ah]
VOA layanan bahasa Korea, layanan bahasa Khmer, layanan bahasa Vietnam, layanan bahasa Indonesia, dan layanan bahasa Thailand berkontribusi pada laporan ini.
Your browser doesn’t support HTML5