Transformasi ekonomi digital merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan sekarang ini, termasuk di sektor keuangan, dan dalam KTT G20 kali ini menjadi salah satu dari tiga isu prioritas.
Presiden Joko Widodo mengapreasiasi kerja sama beberapa bank sentral di Asia Tenggara untuk mewujudkan transformasi ekonomi digital di sektor keuangan. Menurutnya, kerja sama “ASEAN 5” yang ditandatangani hari Senin (14/11) merupakan salah satu kunci ekonomi yang berkelanjutan dan sangat bermanfaat bagi pemulihan ekonomi agar lebih kuat, inklusif dan kolaboratif.
Sebelum adanya kolaborasi antar negara-negara ASEAN ini, ungkapnya, Indonesia sendiri telah melakukan berbagai terobosan dalam sistem pembayaran digital yakni diantaranya melalui pengembangan QRIS, BI Fast, dan adanya Tim Percepatan Perluasan Digitalisasi Daerah untuk mempercepat digitalisasi transaksi pemerintah.
Menurutnya, dalam hal transformasi ekonomi digital ini sebenarnya ASEAN sudah selangkah lebih maju dibandingkan dengan negara lain. Ia mencontohkan adanya kerja sama QR Cross Border antara Indonesia-Thailand dan adanya interkoneksi fast payment antara Singapura dan Thailand.
“Sudah saatnya kerja sama ini diformalkan, dan regional payment connectivity sebagai wujud konkret implementasi G20 road map for enhancing cross border payment. Saya mendukung inisiatif regional payment connectivity ini, terus diperluas hingga ke tingkat global, karena kemudahan akses pembayaran akan memberikan dampak besar bagi ekonomi khususnya sektor pariwisata, perdagangan dan UMKM sehingga akan mendorong akselerasi pemulihan ekonomi yang lebih kuat dan inklusif,” ungkap Jokowi.
Ukir Sejarah Baru
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan penandatangan MoU tersebut bukanlah sekedar kerja sama semata. Namun, hal ini juga untuk menciptakan warisan dan mengukir sejarah baru di dalam pengembangan transformasi ekonomi digital.
Perry menjelaskan, Indonesia dan ke-4 negara ASEAN ini berkomitmen untuk memiliki multilateralisme dan regional payment connectivity yang bergerak secara bilateral. Pembayaran regional yang dimaksud yakni meliputi QR Standard, Fast Payment dan juga mata uang lokal yang segera akan terkoneksi antara satu sama lainnya.
“Kemana saja kita pergi di dalam lima negara ASEAN ini, kita bisa menggunakan QR, kita bisa menggunakan QR Indonesia standard dimana saat ini sudah aktif di Thailand, segera nanti setelahnya dengan Malaysia, Singapura, dan Filipina, dan selanjutnya akan menjadi fast payment, secara instan di mana kita hanya menunggu 2-3 hari saja, mungkin sampai lima hari paling lama,” jelas Perry.
Lanjutnya, transaksi lintas batas antara negara-negara ASEAN tersebut juga nantinya akan langsung dikonversi ke masing-masing mata uang ke-4 negara di atas.
“Di atas itu adalah local currency settlement, kita tidak harus meng-convert-nya kepada USD, tapi langsung saja ke rupiah, tapi rupiah-ringgit, rupiah-singapura dolar, dan juga rupiah-peso. Ini adalah warisan, ini adalah menulis ulang sejarah menuju digital transformasi di ASEAN 5. Dari ASEAN 5, retail konetifitas, kepada global connectivity,” tegasnya.
Acara Penandatanganan ini dilakukan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, Gubernur Bank Negara Malaysia Shamsiah Yunus, Managing Director Monetary Authority of Singapore Ravi Menon, Deputi Gubernur Bank Sentral ng Pilipinas Mamerto E. Tangonan, dan Deputi Gubernur Bank of Thailand Ronadol Numnonda.
Tantangan Menanti
Ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan kerja sama ini merupakan sebuah kemajuan pesat dalam transformasi ekonomi digital, khususnya di sektor keuangan, yang tidak saja memberi kemudahan pada konsumen, tetapi juga dari pihak produsen untuk bisa meraih “market” yang besar di masing-masing negara tersebut.
“Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan size ekonomi dari ASEAN itu sendiri, kalau dalam konteks Indonesia kita berharap nanti bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Indonesia untuk bisa lebih banyak menggaet pasar karena sebagian besar beberapa negara tadi punya PDB per kapita lebih tinggi dari kita seperti Malaysia, Singapura, Thailand sehingga probability untuk mereka juga akan lebih sering ke Indonesia dalam konteks pariwisata dan akan membantu market dari pelaku UMKM, atau pengusaha di Indonesia untuk lebih meluas lagi,” ungkap Eko kepada VOA.
Namun harus diakui bahwa produk-produk Indonesia masih belum cukup kompetitif jika dibandingkan dengan keempat negara ASEAN tersebut, sehingga diperlukan usaha yang cukup keras agar agar Indonesia dapat meraup keuntungan dan pasar yang berkembang pesat berkat transformasi ini.
Selain itu, tantangan lainnya adalah mengubah kebiasaan orang kaya lama atau “boomers’” untuk beralih menggunakan teknologi sistem keuangan yang sudah sedemikian canggih ini.
“Cuma pemegang uang terbanyak itu masih di boomers yang belanjanya banyak, kantongnya banyak. Jadi itu yang harus bagaimana caranya menyasarnya atau membuat habit mereka untuk bertransaksi secara digital, kadang juga masih susah karena itu adalah masalah habit. Menurut saya itu lebih tantangan, karena kan intinya mau meningkatkan size ekonomi transaksi di semua ekonomi negara ini yang ikut terlibat, tapi kalau tidak terstimulasi dengan bagaimana mendorong produk kita kompetitif agar dengan negara lain, ya bagaimana,” jelasnya.
Lebih jauh, Eko mengungkapkan perkembangan sistem pembayaran digital di lima negara ASEAN ini tidak serta merta akan berdampak signifikan untuk memulihkan perekonomian akibat dihantam pandemi COVID-19. Ia melihat sejauh ini, kerja sama tersebut hanya bersifat sebagai pendukung dari pemulihan ekonomi itu sendiri.
“Jadi difasilitasi untuk memudahkan transaksi, lebih cepat transaksinya sehingga harapannya nanti ke level volume transaksinya meningkat pada titik itu kemudian ekonomi bisa pulih. Tapi tentu untuk bisa bertransaksi lebih banyak tentu mereka juga harus punya income yang lebih banyak juga. Dan itu di tengah ekonomi global yang lesu juga tantangan. Mungkin secara teknologi ini sudah siap, tapi secara ekonominya sendiri dari daya beli masyarakat belum tentu siap juga,” pungkasnya. [gi/em]