Runtuhnya kesepakatan senilai $1 miliar untuk mengatasi deforestasi di Indonesia telah menyoroti kegagalan inisiatif global yang didukung oleh PBB tersebut. Menurut para kritikus, kesepakatan itu terbukti tidak efektif dan menginjak-injak hak-hak masyarakat adat.
Organisasi pemantau hutan Global Forest Watch sebelumnya telah mengatakan bahwa melindungi pohon adalah kunci untuk memenuhi tujuan iklim yang ambisius. Hilangnya hutan tropis menyumbang sekitar delapan persen dari emisi karbon dioksida tahunan.
Alat utama dalam upaya deforestasi ini salah satunya adalah mekanisme REDD+ yang didukung oleh PBB. Mekanisme tersebut merupakan kerangka kerja di mana dana publik dan swasta dibayarkan kepada negara-negara berkembang untuk mengekang emisi dengan mengurangi deforestasi.
BACA JUGA: Indonesia Akhiri Pakta Deforestasi dengan NorwegiaRatusan proyek bermunculan di seluruh dunia di bawah inisiatif itu dalam dekade ini. Donor utama mencakup negara negara maju seperti Norwegia, Jerman dan Inggris.
Proyek REDD+ sendiri berkisar dari skema tingkat nasional yang didukung pemerintah asing hingga level yang lebih kecil, yang juga dapat melibatkan pihak swasta, yang menghasilkan "kredit karbon" untuk dijual kepada perusahaan yang ingin mengimbangi emisi.
Namun inisiatif itu diwarnai kontroversi. Menurut pemerhati lingkungan, proyek di beberapa tempat, termasuk Kamboja, Peru dan Republik Demokratik Kongo, tidak melibatkan masyarakat lokal dan tidak memberi manfaat yang dijanjikan sehingga, dalam beberapa kasus, mengarah kepada konflik.
Bulan lalu, Indonesia, rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia, keluar dari kesepakatan REDD+ senilar $1 miliar dengan Norwegia, setelah menerima hanya sebagian kecil dari uang tersebut. (ka/rs)