Pendiri SMRC Saiful Mujani mengatakan 62 responden mengaku selalu atau sering melakukan ibadah di rumah ibadah, sedangkan 31 persen responden mengaku jarang, dan 5 persen lainnya sangat jarang atau tidak pernah. Jumlah ini menunjukkan masyarakat Indonesia cukup religius. Data ini berasal dari survei pada 13-20 Maret 2022 yang melibatkan 1.220 responden dengan tingkat kesalahan kurang lebih 3,12 persen.
"Jadi kalau melihat secara umum, apapun agamanya termasuk Islam, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya itu dua per tiga cukup religius," tutur Saiful Mujani secara daring pada Senin, 25 April 2022.
Saiful Mujani menambahkan frekuensi publik mempertimbangkan agama dalam membuat keputusan penting dalam hidup cukup besar. Ini terlihat dari 84 persen responden yang menyatakan selalu atau cukup sering mempertimbangkan agama dalam membuat keputusan penting. Sedangkan yang menyatakan jarang atau tidak hanya 13 persen.
Kendati demikian, kata Saiful, keagamaan responden tidak selalu berhubungan dengan pilihan politik. Menurut responden, keagamaan hanya akan mempengaruhi pilihan jika yang bersaing adalah partai yang berbasis agama dengan partai nasionalis. Semisal PKS bersaing dengan PDI Perjuangan.
"Apakah religiusitas itu punya pengaruh dalam perilaku politik? Punya tapi terbatas. Kalau agama itu betul-betul tidak penting, tidak mungkin ada partai seperti PKS. Tapi kenyataannya ada," tambahnya.
Menurutnya, kondisi ini juga menggambarkan bahwa orientasi politik masyarakat Indonesia cenderung ke nasionalis sehingga yang mendapatkan suara terbesar dalam setiap pemilu adalah partai-partai nasionalis. Sedangkan perolehan suara dari gabungan partai-partai Islam di parlemen terus melorot sejak pemilu pertama pada 1955 yang mencapai sekitar 46 persen.
Your browser doesn’t support HTML5
Meski Agama Jadi Pertimbangan, Partai Islam Tak Jadi Pilihan
Peneliti senior LIPI Siti Zuhro mengamini pernyataan Saiful Mujani soal orientasi politik masyarakat Indonesia yang cenderung moderat yang akhirnya memenangkan partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar. Lebih lanjut, ia menyoroti sejumlah partai berasaskan Islam seperti PAN dan PPP yang berisiko terdepak dari DPR jika tidak mampu bersaing. Ini dikarenakan munculnya partai-partai baru yang dapat memecah para pemilih dari partai Islam tersebut.
"Mungkin PAN dan PPP bagaimana ke depannya untuk bisa lolos ambang batas parlemen. Ini yang menimbulkan was-was kalau dia tidak bisa menghadirkan caleg handal," jelas Siti Zuhro kepada VOA, Senin (25/4/2022) malam.
Menurut Siti, partai-partai Islam di parlemen tersebut perlu melakukan inovasi-inovasi terbaru untuk dapat mempertahankan kursi mereka di DPR. Di samping itu, integritas para politikus muslim juga harus dijaga jika tidak ingin mengalami penurunan suara. Semisal dengan tidak terlibat kasus korupsi dan tidak ada friksi yang besar di tubuh partai.
"Dengan ada partai baru yang merupakan pecahan dari partai yang ada di DPR. Menurut saya ini ancaman, nambah suara belum tentu, tapi sudah pasti berkurang," tambahnya. [sm/em]