Gemerlap hidup mewah yang kerap ditunjukkan baik oleh pejabat publik maupun sanak keluarganya di media sosial kembali menjadi sorotan masyarakat luas. Presiden Joko Widodo hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani sampai angkat bicara, mengecam gaya hidup hedonisme tersebut. Tak hanya itu, Kementerian Perhubungan pun turut mengeluarkan imbauan kepada seluruh jajarannya agar tidak bergaya hidup mewah, baik dalam kehidupan sehari-hari baik ataupun di media sosial. Cukup kah kecaman dan imbauan tersebut efektif dalam memberangus gaya hidup itu?
Anis Farida, sosiolog dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UNINSA) berpendapat belum cukup. Baginya, imbauan tersebut harus dibarengi dengan penegakkan hukum yang tegas.
“Apakah hanya cukup imbauan? Tentunya tidak cukup karena pasti aspek penegakkan hukum pada semua lini yang penting untuk dilakukan,” katanya kepada VOA, Minggu (12/3).
Anis mengomentari mencuatnya kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio, putra pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, yang kerap mengunggah gaya hidup yang mewah di media sosial. Keberadaan kasus ini berujung pada pemeriksaan harta sang ayah yang nilainya fantastis dan tidak wajar bagi seorang aparatur sipil negara (ASN). Buntut dari kasus ini, sejumlah pejabat publik di bawah Kementerian Keuangan lainnya, yang kerap pamer di media sosial, menuai kecaman dari para warganet dan membuat tim Inspektorat Jenderal kementrian tersebut turun tangan.
Anis berpendapat, di setiap instansi pemerintahan sebenarnya sudah ada sebuah aturan terkait hal apa saja yang sepatutnya ditampilkan oleh seorang pejabat publik dalam media sosial tersebut. Namun, sayangnya hal ini kerap dilanggar dan tidak ada penegakkan aturan secara tegas, sehingga permasalahan serupa terulang kembali.
“Kalau untuk aparat tertentu sebenarnya cukup ketat, mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya akhir-akhir ini juga tergoda dengan gaya hidup yang harus menunjukkan bahwa status sosial seseorang itu sekarang tidak lagi ditunjukkan dengan kepemilikkan secara nyata, tapi bagaimana di medsos-nya. Ini cukup memprihatinkan juga kalau kemudian kita tidak lagi bisa berpegang pada norma-norma yang idealnya sekali lagi untuk kita laksanakan,” tuturnya.
Meski begitu, ia melihat bahwa keberadaan media sosial dalam konteks permasalahan ini memiliki dampak yang positif. Masyarakat, katanya, bisa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan, agar bisa berjalan dengan cukup baik. Namun, di sisi lain ruang privasi si pejabat itu sendiri menjadi tipis. Maka dari itu, menurutnya, penting untuk dilakukan sebuah edukasi bagi seorang pejabat publik untuk lebih bijak dalam memilah apa saja yang harus dipertontonkan kepada masyarakat melalui media sosial masing-masing.
“Sekali lagi ini ibarat pisau bermata dua. Ada sisi bagus, tapi ada sisi kurang bagusnya. Bagusnya menjadi sebuah kontrol untuk kemudian pejabat berperilaku yang sewajarnya, tidak bagusnya terkadang hal-hal yang kemudian seharusnya ada ruang privasi ibaratnya hilang semua. Menjadi tidak ada batas diantara publik dan privat. Ini memang persoalan yang saya kira tidak mudah untuk mengatasi hal ini,” katanya.
BACA JUGA: Menteri Keuangan Copot RAT dari Jabatan di Ditjen PajakLebih lanjut Anis mengatakan fenomena seseorang yang kerap menampilkan gaya hidup mewah di media sosial sebenarnya merupakan naluri manusia yang ingin membuktikan status sosial atau eksistensi diri mereka. Namun, hal tersebut menjadi tidak patut dan wajar ketika dilakukan oleh seseorang yang merupakan pejabat publik.
Menjadi Perhatian Presiden
Mencuatnya kasus pamer gaya hidup mewah pun menyita perhatian Presiden Joko Widodo. Ia meminta secara tegas kepada seluruh jajaran ASN untuk disiplin dan menghilangkan sikap dan sifat hedonisme.
"Saya minta kepada seluruh menteri dan kepala lembaga untuk mendisiplinkan aparat di bawahnya, memberitahu apa-apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh dilakukan," ungkap Jokowi.
Jokowi juga menegur jajaran pemerintahannya yang masih memiliki sifat hedonisme dan pamer kekuasaan. Pasalnya, perilaku tersebut tentu sangat merugikan dan menimbulkan kekecewaan di masyarakat.
"Saya tahu betul, mengikuti kekecewaan masyarakat terhadap aparat kita, terhadap pemerintah. Hati-hati, tidak hanya urusan pajak dan bea cukai, ada kepolisian, penegak hukum lainnya, dan birokrasi yang lainnya. Kalau seperti itu menurut saya pantas rakyat kecewa," tegasnya.
Mantan gubernur DKI Jakarta ini juga menginstruksikan kepada seluruh jajaran ASN untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Menurutnya, perilaku pamer harta di media sosial tidak pantas dilakukan oleh seorang aparat.
BACA JUGA: Kemenkeu Investigasi 69 Pegawai yang Berisiko Lakukan Tindak Indisipliner"Supaya ditekankan kepada kita kepada bawahan kita, jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan, apalagi sampai dipajang-pajang di IG (Instagram), di media sosial. Itu sebuah kalau aparat, sangat-sangat tidak pantas," katanya.
Selain itu, Presiden juga menekankan pentingnya meningkatkan reformasi birokrasi untuk melayani rakyat secara efektif dan akuntabel.
"Berkaitan dengan bidang aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi, inti reformasi birokrasi itu adalah rakyat terlayani, rakyat terlayani dengan baik, secara efektif dan akuntabel," pungkasnya. [gi/ah]