Warga Southport, Inggris, berkumpul pada hari Minggu (11/8) untuk menghadiri pemakaman pertama tiga anak perempuan yang tewas dalam kelas dansa. Mereka mengenang senyum cerah Alice da Silva Aguiar yang berusia 9 tahun dan menyerukan diakhirinya kerusuhan yang telah mengguncang Inggris sejak serangan tersebut terjadi dua minggu lalu.
Ratusan pelayat memadati Gereja Katolik St. Patrick dan tumpah ke jalan di luarnya, yang telah dihiasi dengan pita merah muda dan balon untuk menghormati Alice. Kepala Polisi Serena Kennedy termasuk di antara para pelayat, dan dia menyampaikan pesan kepada orang tua bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan atas nama putri mereka.
“Saya malu dan sangat menyesal Anda harus mempertimbangkan hal ini dalam perencanaan pemakaman putri cantik Anda, Alice,” kata Kennedy, yang mengepalai kepolisian Merseyside, yang mencakup wilayah sekitar Liverpool.
“Dan saya berharap siapa pun yang ikut serta dalam kekacauan yang terjadi di jalan-jalan kita selama 13 hari terakhir ini akan merasa malu atas penderitaan yang mereka timbulkan kepada Anda, keluarga yang sedang berduka.”
BACA JUGA: Dua Tersangka Serangan Konser Taylor Swift Terinspirasi ISISAktivis sayap kanan telah menggunakan informasi yang salah tentang serangan di kelas dansa bertema Taylor Swift yang menewaskan Alice sebagai dalih untuk demonstrasi anti-imigran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan ketika massa menyerang masjid, toko milik imigran, dan hotel yang menampung pencari suaka. Kerusuhan tersebut dipicu oleh para pengguna media sosial yang menyebarkan informasi salah tentang tersangka penikaman tanggal 29 Juli lalu.
Rumor yang kemudian dibantah, yang dengan cepat beredar secara online, menyebutkan bahwa tersangka adalah seorang pencari suaka, atau seorang imigran Muslim. Tersangka lahir di Wales dan pindah ke kawasan Southport pada tahun 2013. Orang tuanya berasal dari Rwanda.
Kekerasan mereda pada hari Rabu ketika demonstrasi sayap kanan yang diantisipasi di puluhan lokasi di seluruh Inggris gagal terwujud. Sebaliknya, para pengunjuk rasa anti-rasisme yang damai muncul.
Namun pada hari Minggu itu, fokusnya tertuju pada Alice.
Orang tuanya, Sergio dan Alexandra, menggambarkan Alice sebagai “anak impian sempurna” yang mencintai binatang dan menjalani dunia dengan percaya diri dan empati.
“Kami merasa kaget, sakit yang tak terbayangkan, kami merindukanmu,” kata mereka dalam penghormatan yang dibacakan atas nama mereka. “Dari waktu ke waktu, pinnya terjatuh. Saat ibu berkata, 'Selamat malam, Sergio, selamat malam, Alice,' dan kami kembali tersadar. Kami tidak mendengar balasan Anda.”
Jinnie Payne, kepala sekolah di Sekolah Dasar Churchtown, ingat bahwa Alice pernah menghiasi penunjuk kelas guru sebagai tongkat ajaib dan menguraikan tujuh “kualitas Alice” yang dia harap dimiliki setiap siswa.
BACA JUGA: Unjuk Rasa Anti-Rasisme Berkobar di Penjuru InggrisKualitas tersebut termasuk memiliki senyum lebar, minat yang tulus terhadap orang lain, dan memperlakukan semua orang secara setara.
“Ini pasti menjadi favorit saya, bagaimana seorang anak di usia yang begitu muda tidak bisa memihak hanya pada satu teman dibanding teman lainnya,” katanya. “Itu sangat sulit dilakukan, dan dia mampu melakukannya.”
Dan dia juga suka menari.
Pada hari Minggu, orang tuanya merilis foto Alice berdiri di samping potongan gambar Swift saat dia menunggu kelas dansa terakhirnya dimulai.
“Waktunya telah tiba untuk mengatakan, 'Inilah Alice,'” kata Payne sambil menangis. “Kami akan membiarkanmu pergi berdansa sekarang, Alice. Ajari para malaikat itu beberapa gerakan tarian.” [ab/ka]