Sri Lestari Tulastono adalah satu-satunya diaspora Indonesia yang bekerja di kantor perwakilan EPRI di Washington D.C., sebuah badan riset nirlaba di bidang industri listrik. Tak hanya satu-satunya warga Indonesia, Sri juga satu-satunya Muslim di badan riset tersebut.
Sri telah bekerja untuk EPRI selama 11 tahun sejak ia pertama kali datang ke AS, yaitu tahun 2006.
Sebagai technical assistant, Sri bertugas membantu para direktur, wakil presiden dan presiden EPRI untuk bersaksi di Gedung Putih atau Gedung DPR atau badan-badan pemerintah lainnya untuk mencari dana bagi EPRI agar dapat membantu masyarakat menghemat energi.
Selain itu, Sri juga bertugas mendukung staf EPRI dalam hal perencanaan dan administrasi, serta kegiatan internal EPRI yang juga mencakup staf di Washington D.C. dan California.
Rekan kerja Sri mengakui pentingnya peran Sri dalam organisasi mereka. Clay C. Perry, senior manager, divisi Media Relations Global Strategy & External Relations di EPRI, juga menambahkan semua orang menghormati Sri.
Walaupun satu-satunya Muslim di kantor itu, Sri tidak pernah merasa mendapat perlakuan yang berbeda.
"Kalau di sini enaknya semua diperlakukan sama. Di sini sebenarnya tidak ada ruang sholat karena cuma saya (yang beragama Islam dan sholat di sini), jadi saya jadikan ruangan server untuk sholat. Setiap kali saya sholat, saya kunci ruangan itu agar tidak ada yang ganggu dan bisa konsentrasi, kalau lagi ada masalah bisa nangis sama Allah," tuturnya.
Sri juga tidak mendapat kesulitan ketika meminta cuti dalam jangka waktu panjang untuk menunaikan ibadah haji. Ia bahkan diminta untuk menjelaskan salah satu rukun Islam itu, dengan membagikan pengalamannya di Arab Saudi dan juga menunjukkan foto-foto sambil menjelaskan apa yang ia lakukan selama di tanah suci dan apa maknanya.
Menurut Clay, karyawan di kantornya jadi lebih mengenal Islam lewat Sri, khususnya tentang ritual naik haji, dan membuka cara pandang mereka tentang perbedaan dan keragaman.
Walaupun tinggal di Amerika sebagai minoritas, Sri merasa nyaman hidup di negara ini. "Kalau saya pribadi, saya lebih suka di sini (Amerika) ya sebagai Muslim, gak tau kenapa. Mungkin karena minoritas jadi kita lebih menjaga lebih konsentrasi, karena di sini orang lebih teratur juga. Semuanya biarpun bukan orang Muslim tapi kelakuannya seperti orang Muslim, menghargai orang lain, mengganggap semua orang sama," paparnya.
Sri mengakui tantangan hidup di Amerika justru datang dari diri sendiri. Misalnya di Amerika tidak ada larangan untuk mengenakan jilbab, tapi karena ia merasa belum siap, ia belum mengenakannya.
Di luar kesibukan kerja, Sri aktif di organisasi Muslim Indonesia di Washington D.C. selain sibuk mengurus cucunya di rumah. [dw]