Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan telah mempelajari fenomena jebakan negara kelas menengah.
Juli lalu, Bank Dunia kembali mengkategorikan Indonesia menjadi negara berpendapatan bawah dari sebelumnya kategori negara berpendapatan menengah atas. Penyebabnya pendapatan per kapita Indonesia dari turun dari $4.050 pada 2019, menjadi $3.870 pada 2020.
Menurut Sri Mulyani, jumlah negara yang berhasil keluar dari jebakan ini hanya 20 negara dari 190 negara yang memiliki pengalaman sebagai negara berpendapatan menengah. Kata dia, terdapat sejumlah faktor yang menjadi penentu negara terbebas dalam jebakan negara kelas menengah ini. Satu di antaranya, yaitu sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat menjadi negara berpendapatan tinggi.
"Negara yang mampu menginvestasikan dan meningkatkan kualitas SDM akan identik dengan negara yang terus meningkatkan inovasi dan itu kunci untuk naik menjadi negara berpendapatan tinggi," jelas Sri Mulyani secara daring pada Rabu (4/8).
Sri Mulyani menambahkan ada beberapa faktor lain yang menjadi kunci negara untuk naik kelas dalam bidang ekonomi. Antara lain percepatan perbaikan infrastruktur, reformasi institusi, dan transformasi ekonomi. Kata dia, pemerintah menggandeng swasta untuk pendanaan insfrastruktur, di samping pembangunan dengan anggaran APBN.
BACA JUGA: Kemenkeu Tanggapi Laporan Bank DuniaPemerintah juga akan terus melakukan reformasi institusi publik dari pusat hingga daerah agar dapat terus melayani masyarakat dan birokrasi menjadi efisien. Sedangkan transformasi ekonomi yang berbasis digital terus diarahkan kepada efisiensi dan produksi yang mampu bersaing.
"Karena tidak mungkin negara manapun di dunia, yang membangun infrastrukturnya hanya menggunakan sumber daya dari negara atau APBN," tambah Sri Mulyani.
Transformasi Ekonomi
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov membenarkan sejumlah faktor yang menjadi kunci bagi Indonesia untuk naik kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas. Namun, transformasi ekonomi Indonesia masih jalan di tempat dan struktur ekonomi nasional masih ditopang konsumsi. Itupun konsumsi tersebut berasal dari impor bukan berasal dari industri dalam negeri.
"Yang perlu jadi fokus pemerintah dalam jangka pendek. Supaya agenda besar menjadikan Indonesia sebagai negara produktif dan berdaya saing itu tercermin dari target meningkatkan kembali kontribusi industri manufaktur," jelas Abra kepada VOA, Rabu (4/8/2021).
Abra menambahkan pemerintah dan pengusaha masih kerap tergoda mengekspor bahan mentah ke luar negeri dibandingkan mengolah terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai produksi. Padahal, Indonesia memiliki potensi yang besar karena bahan baku yang berlimbah dalam peningkatan produksi.
Ia menilai Indonesia akan sulit naik kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas dalam waktu dekat. Ia beralasan pertumbuhan ekonomi nasional sedang melemah akibat penanganan pandemi corona yang tidak kunjung selesai.
BACA JUGA: Pemerintah Prioritaskan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Pada APBN 2021"Untuk kembali ke status menengah atas, pertumbuhan ekonominya harus di atas rata-rata sebelum pandemi COVID-19. Kalau sebelum COVID-19, kita tumbuh 5 persen, akrena kemarin kontraksi harus 7 persen. Ini kan berat," tambahnya.
Abra menyarankan pemerintah agar fokus dalam penanganan corona agar pemulihan ekonomi dapat segera dilakukan.
Dampak Penurunan Kelas
Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira juga mengingatkan penurunan kelas Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah bawah akan membuat Indonesia membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi negara maju. Kata dia, kondisi ini juga dapat membuat Indonesia terjebak dalam kelas menengah dalam waktu lama.
Your browser doesn’t support HTML5
Di samping itu, potensi bonus demografi pada 2030 juga bisa hilang karena angkatan kerja muda kesulitan mencari kerja akibat perekonomian tidak tumbuh. Sementara beban mereka akan semakin berat karena harus menanggung beban keluarga, termasuk orang tua mereka yang akan lanjut usia.
Bhima Yudhistira menyebut penurunan kelas dapat membuat Indonesia kurang diminati sebagai negara tujuan investasi karena dianggap berisiko tinggi. Menurutnya, para investor cenderung tertarik menanamkan modal mereka pada negara yang berpendapatan menengah ke atas. [sm/em]