Starbucks Corp akan menaikkan harga menu pada 2022 dan mengurangi beberapa pengeluaran untuk mengimbangi melonjaknya biaya tenaga kerja dan barang. Meningkatnya kasus COVID-19 mendorong waralaba kopi tersebut pada Selasa (1/2) menurunkan perkiraan keuntungan tahun ini.
Perusahaan tidak membuat estimasi laba kuartalan dan penjualannya di saat varian Omicron menyebar dengan cepat sehingga menyebabkan penundaan kembali pembukaan kantor dan penerapan pembatasan baru di China.
Sejumlah restoran harus membayar lebih mahal untuk keperluan penjualannya, mulai dari ayam dan minyak goreng hingga pengemasan dan layanan transportasi di tengah rekor inflasi dan gangguan COVID-19. Banyak restoran, termasuk Starbucks, telah menaikkan upah di tengah kekurangan tenaga kerja.
Biaya tambahan telah memangkas margin. Laba McDonald's juga meleset dari perkiraan pada laporan pendapatan kuartal keempat pada Kamis.
BACA JUGA: Betulkah New York adalah Pusat Budaya Kopi Takeaway Amerika?Demikian pula Starbucks yang melaporkan laba 72 sen per saham, meleset dari perkiraan Wall Street sebesar 80 sen. Perusahaan merevisi perkiraan perkiraan pertumbuhan laba per saham yang disesuaikan untuk 2022 menjadi 8-10 persen, dari setidaknya 10 persen sebelumnya.
Waralaba yang berbasis di Seattle itu - yang pekerjanya di lebih dari 50 gerainya di AS berusaha untuk berserikat - juga telah membayar lebih untuk melatih karyawan baru dan isolasi bagi mereka yang terpapar COVID-19.
"Ketika lonjakan Omicron dimulai, biaya inflasi dan kekurangan staf meningkat, jauh melebihi ekspektasi kami," kata Chief Executive Officer Kevin Johnson.
Setelah menaikkan harga menu pada bulan Oktober dan Januari, Starbucks berencana untuk menaikkannya lagi pada 2022 dan akan memotong anggaran pengeluaran untuk pemasaran dan promosi, kata Johnson.
Starbucks tidak menentukan produk yang akan dinaikkan harganya. Segelas Venti cappuccino kini dihargai $5,25 atau sekitar Rp75.000.
Penjualan global naik 13 persen pada kuartal pertama yang berakhir 2 Januari, kata Starbucks, sementara analis yang disurvei oleh Refinitiv IBES memperkirakan pertumbuhan mencapai 13,2 persen.
Penjualan toko yang sama di divisi internasional turun 3 persen, mencerminkan penurunan 14 persen di China. Analis memperkirakan kenaikan 0,5 persen di segmen internasional.
Beberapa kota di China telah menutup area tempat duduk dan membatasi pergerakan untuk mengekang COVID-19 menjelang Olimpiade Musim Dingin, yang berdampak pada pendapatan Starbucks. Merek tersebut juga mendapat kecaman di negara itu setelah sebuah laporan mengatakan dua gerainya menggunakan bahan-bahan kedaluwarsa.
Sementara itu, penjualan di AS melonjak sebesar 18 persen, diuntungkan dari minuman dingin baru, harga yang lebih tinggi, dan peningkatan rewards anggota.
Total pendapatan bersih naik 19 persen menjadi $8,1 miliar, sementara analis sebelumnya memperkirakan total pendapatan waralaba kopi tersebut berada di kisaran $7,95 miliar. [ah/rs]