Pada 10 Maret 2020 lalu, seorang warga berinisial S mendatangi Rumah Sakit Respira di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di rumah sakit khusus penyakit paru milik pemerintah itu, S dilayani oleh T, anggota staf bagian pendaftaran. Saat itu, virus corona sudah menjadi perhatian sehingga semua pekerja di RS Respira mengenakan masker bedah.
S dinyatakan positif terinfeksi virus corona pada 19 Maret dan dirawat di RSUD Kota Yogyakarta. Kabar itu membuat manajemen RS Respira bertindak cepat menelusuri yang kontak dengan S dan melakukan tes swab kepada anggota staf yang mengeluh sakit. Pada 27 Maret 2020, T dinyatakan positif terinfeksi virus corona.
Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 DIY Biwara Yuswantana, T sempat dirawat di RS Respira dan lalu dirujuk ke RS PKU Bantul pada 29 Maret 2020. Namun, T akhirnya meninggal dunia pada 6 April 2020.
Your browser doesn’t support HTML5
“RS sudah melakukan tracing lengkap ke seluruh pegawai Respira dan melakukan pemeriksaan bagi karyawan yang mempunyai keluhan, serta mengisolasi orang yang kontak erat dengan saudara T selama 14 hari,” kata Biwara dalam keterangan yang diberikan Senin (6/4) petang.
Wafatnya T menambah panjang daftar kasus penularan virus corona pada dokter, perawat dan staf di rumah sakit. Sebelum ini, Prof Iwan Dwi Prahasto, guru besar FKKMK Universitas Gadjah Mada juga meninggal karena infeksi virus corona. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat hingga Selasa (7/4) ada 19 dokter, lima dokter gigi dan enam perawat meninggal karena COVID-19.
Stigmatisasi Tenaga Medis
Meski bekerja dalam tekanan dan risiko penularan tinggi, para pekerja medis menghadapi stigma di masyarakat belakangan ini. Karena takut tertular, masyarakat menolak kehadiran tenaga kesehatan, ketika mereka pulang ke tempat tinggal.
Di Jakarta, misalnya, perawat ditolak kembali ke rumah kos mereka dan diminta pergi pada saat itu juga. Pemerintah DKI Jakarta akhirnya menyediakan tempat penampungan bagi tenaga kesehatan di hotel-hotel milik mereka.Kasus yang sama terjadi di Yogyakarta.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, dalam pertemuan dengan sejumlah rumah sakit dan akademisi kedokteran, Senin (6/4), mengaku prihatin dengan masalah itu. Dia mengatakan tidak bisa memahami sikap masyarakat yang takut dengan tetangganya yang seorang dokter, tenaga medis ataupun perawat. Bahkan ada warga yang menolak ketika para tenaga medis itu pulang ke rumah sendiri.
Sri Sultan menegaskan para tenaga kesehatan tentunya tahu cara menjaga dirinya agar tidak tertular virus karena mereka pun punya keluarga yang harus dilindungi.
“Jadi percayalah masyarakat bahwa tenaga medis pada waktu pulang itu sudah dalam keadaan bersih,” ujar Sri Sultan.
Meskipun prihatin, Sri Sultan mengaku terlalu berat untuk mengubah sikap masyarakat terhadap tenaga medis secara cepat saat ini. Oleh karena itu, Pemda DIY akan menyediakan asrama bagi tenaga medis agar tidak terjadi konflik di masyarakat.
Stigmatisasi Pasien
Tidak hanya tenaga medis, masyarakat juga menyematkan stigma kepada terduga penderita corona, Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP), maupun pasien yang dinyatakan positif. Bahkan terhadap jenazah pasien virus corona Terbukti dengan sejumlah penolakan terhadap pemakaman jenazah pasien virus corona di berbagai daerah.
PDP dan mereka yang sudah positif relatif terhindar secara langsung sikap negatif. Namun, mereka yang ada dalam status ODP menerima tekanan lebih besar karena mereka berada di tengah-tengah masyarakat. Apalagi, warga kini menganggap bahwa jika wilayahnya sudah ada ODP, berarti kawasan itu telah tercoreng nama baiknya.
Karena itulah, Pemda DIY, kota dan kabupaten di Yogyakarta juga mempersiapkan gedung-gedung khusus untuk menampung ODP. Antara lain, sejumlah balai latihan, asrama haji hingga rumah susun sederhana sewa (Rusunawa).
Sekretaris Daerah DIY, Kadarmanta Baskara Aji menyebut, ODP yang ditampung di tempat karantina akan melalui proses pemilihan. Tempat-tempat itu hanya untuk ODP yang tidak bisa melakukan karantina mandiri.
“Yang bisa, silahkan karantina mandiri selama 14 hari. Atau juga melakukan karantina di tempat-tempat yang akan disediakan oleh pihak desa,” ujarnya.
Pemerintah daerah juga meminta desa-desa untuk membantu penyediaan tempat isolasi bagi ODP. Jika pemerintah memperbolehkan mudik pada Lebaran tahun ini, jumlah ODP akan melonjak drastis. Sesuai aturan pemerintah pusat, setiap pemudik otomatis akan dinyatakan sebagai ODP yang wajib melakukan karantina selama 14 hari.
Salah satu lokasi yang akan dijadikan pusat penampungan ODP adalah Asrama Haji Yogyakarta.
Sigit Warsito, pejabat di Kantor Kementerian Agama DIY, memastikan asrama itu siap dipakai. Pihaknya sudah menjalankan rekomendasi Kementerian Kesehatan, antara lain dengan melepas semua gorden dan tidak menghidupkan penyejuk udara (AC).
“Yang akan menghuni adalah yang berstatus ODP, baru saja dari luar daerah dan ditolak warga. Yang kedua, PDP. Oleh Rumah Sakit tempat dia dirawat dinyatakan sudah membaik atau bahkan sudah sembuh, tetapi warga belum diterima,” kata Sigit.
Pemerintah, melalui Dinas Sosial, menyediakan seluruh kebutuhan dasar para penghuni di tempat karantina. Para penghuni hanya diminta untuk mematuhi aturan. Terutama dengan menjaga jarak satu sama lain untuk menekan potensi penularan.
Hingga Selasa (7/4), di Yogyakarta tercatat 381 orang PDP, terdiri dari 130 pasien rawat inap, 233 pasien rawat jalan atau sudah selesai pengawasan, dan 18 meninggal. Sedangkan ODP tercatat ada 2.908 orang. [ns/ft]