Sebuah rencana strategis nuklir rahasia, yang disetujui Presiden Joe Biden tahun ini, bukanlah tanggapan terhadap satu negara atau ancaman tertentu, kata Gedung Putih, pada Selasa (20/8), setelah The New York Times melaporkan bahwa rencana itu mengubah orientasi strategi pertahanan AS agar berfokus pada ekspansi nuklir China untuk pertama kalinya.
Asosiasi Pengendalian Senjata yang berbasis di AS mengatakan, pihaknya paham bahwa postur dan strategi senjata nuklir AS tetap sama seperti yang dijelaskan dalam Tinjauan Postur Nuklir 2022 pemerintah, dan bahwa tidak ada perubahan orientasi dari Rusia menuju ke arah China.
Harian the New York Times mengatakan Gedung Putih tidak pernah mengumumkan bahwa Biden menyetujui revisi strategi itu, yang berjudul “Pedoman Penggunaan Nuklir.” Akan tetapi sebuah pemberitahuan yang tidak tergolong rahasia kepada Kongres mengenai revisi itu diperkirakan akan dikirim sebelum Biden meninggalkan jabatannya.
Surat kabar itu mengatakan bahwa dalam beberapa pidatonya belakangan ini, dua pejabat senior diizinkan untuk menyinggung revisi strategi. Harian itu mengatakan strategi itu diperbarui setiap sekitar empat tahun.
Ketika ditanya mengenai laporan itu, juru bicara Gedung Putih, Sean Savett mengatakan, “Pemerintahan ini, seperti empat pemerintahan sebelumnya, mengeluarkan Tinjauan Postur Nuklir dan Pedoman Perencanaan Penggunaan Senjata Nuklir.”
BACA JUGA: Kremlin Beri Peringatan Soal Rencana AS Tempatkan Rudal di Jerman“Meski naskah spesifik Pedoman itu bersifat rahasia, keberadaannya sama sekali tidaklah rahasia. Pedoman yang dikeluarkan awal tahun ini bukan merupakan tanggapan terhadap satu entitas, negara, maupun ancaman tunggal.”
Daryl Kimball, direktur eksekutif Asosiasi Pengendalian Senjata, mengatakan meskipun perkiraan intelijen AS menunjukkan China mungkin meningkatkan arsenal nuklirnya dari 500 menjadi 1.000 hulu ledak pada 2030, Rusia memiliki sekitar 4.000 hulu ledak nuklir “dan ini masih menjadi penggerak utama di balik strategi nuklir AS.”
Kimball mengutip pernyataan salah seorang pejabat Juni lalu, yang disebut dalam laporan the Times, Direktur Senior Gedung Putih untuk Pengendalian, Pelucutan dan Nonproliferasi Senjata, Pranay Vaddi.
Menurut pernyataan itu, strategi AS adalah mengupayakan pengendalian senjata nuklir dengan China dan Rusia. Tetapi jika China melanjutkan kebijakannya seperti sekarang ini dan jika Rusia melewati batas yang ditetapkan dalam perjanjian START baru, AS kelak mungkin perlu mempertimbangkan penyesuaian besaran dan susunan kekuatan nuklirnya, kata Kimball.
“Menurut pemahaman saya, titik di mana pemerintahan yang sekarang ini berpikir mungkin ingin mempertimbangkan perubahan semacam itu tidaklah akan terjadi hingga 2030, atau suatu waktu setelahnya,” ujar Kimball. [uh/ns]