Dibiayai oleh tujuh negara, termasuk Indonesia, studi ini meletakkan konteks keuntungan ekonomi agar banyak negara lebih giat melawan perubahan iklim.
UNITED NATIONS —
Sebuah inisiatif global baru ingin mempresentasikan argumen yang lebih persuasif untuk aksi terhadap perubahan iklim dengan fokus pada manfaat ekonomi dari melakukannya.
Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim meluncurkan studi yang dilakukan selama setahun untuk menganalisa biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi dari tindakan melawan perubahan iklim. Hasil dari studi tersebut, yang akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga riset di lima negara, akan dirilis pada September 2014, sebelum konferensi perubahan iklim yang diumumkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Selas (24/9).
“Dunia menghadapi dua tantangan besar: Melawan kemiskinan dan melawan pemanasan global,” Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg mengatakan pada peluncuran inisiatif di sela-sela Majelis Umum PBB.
“Kita tidak dapat memilih satu diantaranya.”
Ketua Komisi, mantan presiden Meksiko Felipe Calderon, mengatakan argumen yang persuasif bahwa perjuangan melawan perubahan iklim akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi dapat membujuk lebih banyak pemerintahan dan perusahaan untuk ambil bagian.
“Selama ini, kita berbicara mengenai emisi. Namun kali ini, kita mencoba untuk berbicara mengenai profit. Hal itu akan mengubah persamaan,” ujar Calderon.
Tujuh negara yang memerintahkan studi senilai US$9 juta tersebut adalah Kolombia, Ethiopia, Indonesia, Korea Selatan, Norwegia, Swedia dan Inggris.
Menteri Lingkungan Hidup Swedia, Lena Ek, mengatakan bahwa negaranya telah berhasil menanggulangi kedua isu tersebut.
“Sejak 1990, kami telah memotong emisi karbon sebesar 20 persen, sementara PDB kami tumbuh 60 persen,” ujar Ek. (AP/Amir Bibawy)
Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim meluncurkan studi yang dilakukan selama setahun untuk menganalisa biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi dari tindakan melawan perubahan iklim. Hasil dari studi tersebut, yang akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga riset di lima negara, akan dirilis pada September 2014, sebelum konferensi perubahan iklim yang diumumkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Selas (24/9).
“Dunia menghadapi dua tantangan besar: Melawan kemiskinan dan melawan pemanasan global,” Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg mengatakan pada peluncuran inisiatif di sela-sela Majelis Umum PBB.
“Kita tidak dapat memilih satu diantaranya.”
Ketua Komisi, mantan presiden Meksiko Felipe Calderon, mengatakan argumen yang persuasif bahwa perjuangan melawan perubahan iklim akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi dapat membujuk lebih banyak pemerintahan dan perusahaan untuk ambil bagian.
“Selama ini, kita berbicara mengenai emisi. Namun kali ini, kita mencoba untuk berbicara mengenai profit. Hal itu akan mengubah persamaan,” ujar Calderon.
Tujuh negara yang memerintahkan studi senilai US$9 juta tersebut adalah Kolombia, Ethiopia, Indonesia, Korea Selatan, Norwegia, Swedia dan Inggris.
Menteri Lingkungan Hidup Swedia, Lena Ek, mengatakan bahwa negaranya telah berhasil menanggulangi kedua isu tersebut.
“Sejak 1990, kami telah memotong emisi karbon sebesar 20 persen, sementara PDB kami tumbuh 60 persen,” ujar Ek. (AP/Amir Bibawy)