Studi: Kerja Paksa di Pabrik Pemasok Sarung Tangan Global di Malaysia Meningkat

Seorang pekerja memeriksa hasil produksi sarung tangan sekali pakai di pabrik "Top Glove" di Shah Alam di luar Kuala Lumpur, Malaysia, 26 Agustus 2020. (AP Photo/Vincent Thian, File)

Lonjakan permintaan sarung tangan karet di tengah pandemi global virus corona memperburuk kondisi sejumlah pekerja migran di pabrik-pabrik Malaysia yang menyediakan banyak pasokan pakaian pelindung dunia, menurut sebuah studi baru yang dilakukan para peneliti Inggris.

Mempekerjakan banyak pekerja migran dari negara-negara Asia berpenghasilan rendah, Malaysia memproduksi sekitar dua pertiga dari sarung tangan sekali pakai yang dijual ke seluruh dunia, termasuk kepada the National Health Service, NHS, atau Layanan Kesehatan Nasional di Inggris. Pabrik-pabrik itu melihat lonjakan permintaan selama satu setengah tahun terakhir, menghasilkan rekor keuntungan bagi pemiliknya.

Pengujian kualitas produksi sarung tangan di pabrik Top Glove di Meru, luar Kuala Lumpur, Malaysia, 25 Juni 2009. (Foto: dok/REUTERS)

Pabrik-pabrik sarung tangan Malaysia kini diserang oleh beberapa laporan terkait kondisi kerja yang buruk selama bertahun-tahun, jam kerja yang panjang dengan upah minimum, asrama penampungan pekerja yang sempit dan kotor serta cedera dalam pekerjaan yang mengerikan.

Modern Slavery & Human Rights Policy & Evidence Center yang berbasis di Inggris, melaksanakan penelitian berdasarkan survei yang dilakukan terhadap sekitar 1.500 pekerja dan menguraikan bahwa pandemi telah memperburuk kondisi tersebut.

Pekerja Top Glove antre untuk tes COVID-19 di luar asrama mereka dengan pembatasan ketat di Klang, Malaysia 18 November 2020. 2020. (REUTERS/Lim Huey Teng/File Photo)

Temuan itu terungkap dalam sebuah laporan berjudul, “Kerja Paksa dalam Rantai Pasokan Sarung Tangan Medis Malaysia Sebelum dan Selama Pandemi COVID-19: Bukti, Skala, dan Solusi,” pada 1 Juli 2021.

Kepada tim peneliti, sejumlah pekerja mengungkapkan kombinasi lonjakan jumlah pemesanan dan karyawan yang lebih sedikit, karena pembatasan perjalanan internasional, sehingga mempersulit pabrik-pabrik untuk mengisi lowongan, dan menambah tekanan terhadap pekerja agar bekerja lebih keras, lebih cepat, dan lebih lama. [mg/jm]