Sebuah studi mendesak ibu bekerja supaya tidak merasa bersalah karena meninggalkan anak di rumah, sebab kondisi anak baik-baik saja meski ibu bekerja.
LONDON —
Sebuah studi yang dirilis Selasa (11/6) di Inggris menunjukkan bahwa anak-anak yang ibunya bekerja pada tahun-tahun pertama setelah kelahiran mereka memiliki prestasi sama baiknya dengan anak-anak yang ibunya tinggal di rumah, mematahkan mitos pengasuhan yang sering membuat perempuan karir merasa bersalah.
Sebuah analisis dari enam penelitian yang mengamati 40.000 anak-anak pada 40 tahun terakhir menemukan bahwa tidak ada hubungan antara para ibu yang melanjutkan karir mereka dan prestasi sekolah anak yang kurang atau perilaku yang tak baik.
Studi-studi telah menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dari ibu bekerja pada 1970an, 1980an dan awal 1990an tidak berprestasi begitu baik di sekolah, dengan kemampuan membaca dan matematika dua persen lebih rendah.
Namun riset terbaru dari Heather Joshi di Pusat Studi Longitudinal di University of London menemukan bahwa anak-anak yang lahir sejak pertengahan 1990an, dengan ibu-ibu yang bekerja pada tahun-tahun awal setelah kelahiran mereka berprestasi sama baiknya dengan mereka yang ibunya tinggal di rumah.
Ia mengatakan bahwa “perubahan generasional” ini dipicu oleh cuti kelahiran yang lebih baik dan ketersediaan tempat penitipan anak yang lebih besar, yang hanya bisa terjangkau oleh keluarga kaya pada 1980an sehingga anak-anak lain bertahan dalam pengasuhan yang informal dan kurang terstruktur.
“Secara tradisional ada kekhawatiran bahwa ibu bekerja mengorbankan perkembangan anak,” ujar Joshi, yang mempresentasikan penemuannya pada sebuah pertemuan para pembuat kebijakan dan akademisi yang diorganisir oleh Kampanye untuk Ilmu Sosial.
“Namun seiring meningkatnya persentase ibu-ibu bekerja, dampak terhadap anak juga telah hilang.”
Joshi mengatakan faktor paling penting yang memicu perubahan ini di Inggris adalah investasi pemerintahan Partai Buruh dalam tempat penitipan anak pada pertengahan 1990an.
Riset ini disambut hangat oleh kelompok-kelompok orangtua yang mengatakan hal itu akan mengakhiri tekanan emosional yang dihadapi para ibu ketika memutuskan akan kembali bekerja atau tidak, dan seharusnya mendorong mereka untuk melanjutkan karir.
Para perempuan mencakup 46 persen dari angkatan kerja di Inggris namun hanya sepertiga dari posisi-posisi manajemen.
“Riset ini memperlihatkan bahwa perubahan-perubahan dalam cuti kelahiran dan ketersediaan tempat penitipan anak yang lebih besar yang meningkatkan jumlah ibu bekerja, telah memainkan peran besar dalam membuat para orangtua dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga,” ujar Fiona Weir, kepala eksekutif badan amal untuk orangtua tunggal Gingerbread.
"Kurangnya pekerjaan yang ramah keluarga dan tempat penitipan anak yang terjangkau masih membuat orangtua tunggal terutama kesulitan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Satu dari lima orangtua tunggal yang bekerja penuh waktu dan satu dari empat orangtua yang bekerja paruh waktu membesarkan anak mereka dalam kemiskinan.” (Reuters/Belinda Goldsmith)
Sebuah analisis dari enam penelitian yang mengamati 40.000 anak-anak pada 40 tahun terakhir menemukan bahwa tidak ada hubungan antara para ibu yang melanjutkan karir mereka dan prestasi sekolah anak yang kurang atau perilaku yang tak baik.
Studi-studi telah menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dari ibu bekerja pada 1970an, 1980an dan awal 1990an tidak berprestasi begitu baik di sekolah, dengan kemampuan membaca dan matematika dua persen lebih rendah.
Namun riset terbaru dari Heather Joshi di Pusat Studi Longitudinal di University of London menemukan bahwa anak-anak yang lahir sejak pertengahan 1990an, dengan ibu-ibu yang bekerja pada tahun-tahun awal setelah kelahiran mereka berprestasi sama baiknya dengan mereka yang ibunya tinggal di rumah.
Ia mengatakan bahwa “perubahan generasional” ini dipicu oleh cuti kelahiran yang lebih baik dan ketersediaan tempat penitipan anak yang lebih besar, yang hanya bisa terjangkau oleh keluarga kaya pada 1980an sehingga anak-anak lain bertahan dalam pengasuhan yang informal dan kurang terstruktur.
“Secara tradisional ada kekhawatiran bahwa ibu bekerja mengorbankan perkembangan anak,” ujar Joshi, yang mempresentasikan penemuannya pada sebuah pertemuan para pembuat kebijakan dan akademisi yang diorganisir oleh Kampanye untuk Ilmu Sosial.
“Namun seiring meningkatnya persentase ibu-ibu bekerja, dampak terhadap anak juga telah hilang.”
Joshi mengatakan faktor paling penting yang memicu perubahan ini di Inggris adalah investasi pemerintahan Partai Buruh dalam tempat penitipan anak pada pertengahan 1990an.
Riset ini disambut hangat oleh kelompok-kelompok orangtua yang mengatakan hal itu akan mengakhiri tekanan emosional yang dihadapi para ibu ketika memutuskan akan kembali bekerja atau tidak, dan seharusnya mendorong mereka untuk melanjutkan karir.
Para perempuan mencakup 46 persen dari angkatan kerja di Inggris namun hanya sepertiga dari posisi-posisi manajemen.
“Riset ini memperlihatkan bahwa perubahan-perubahan dalam cuti kelahiran dan ketersediaan tempat penitipan anak yang lebih besar yang meningkatkan jumlah ibu bekerja, telah memainkan peran besar dalam membuat para orangtua dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga,” ujar Fiona Weir, kepala eksekutif badan amal untuk orangtua tunggal Gingerbread.
"Kurangnya pekerjaan yang ramah keluarga dan tempat penitipan anak yang terjangkau masih membuat orangtua tunggal terutama kesulitan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Satu dari lima orangtua tunggal yang bekerja penuh waktu dan satu dari empat orangtua yang bekerja paruh waktu membesarkan anak mereka dalam kemiskinan.” (Reuters/Belinda Goldsmith)