Utusan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan pemimpin pemberontak Riek Machar sedang melakukan perundingan perdamaian di Addis Ababa, Ethiopia untuk mengakhiri kerusuhan sipil yang makin parah di Sudan Selatan.
Perundingan perdamaian ini menandai pertemuan pertama antara kedua pihak sejak konflik itu pecah pada pertengahan bulan Desember lalu.
Menteri Luar Negeri Sudan Selatan Baranaba Marial Benjamin mengatakan pemerintah siap berunding. Ia mempertanyakan apakah kelompok oposisi juga memiliki komitmen serupa.
“Kami siap berdialog, tanpa syarat. Pihak lain lah yang mengajukan syarat-syarat,” katanya.
Sebelumnya pemerintah Sudan Selatan telah menolak salah satu syarat yang ditetapkan mantan wakil presiden Riek Machar untuk berunding, yaitu pembebasan sekutu-sekutu politiknya yang dipenjara pada awal terjadinya krisis ini.
Seorang anggota delegasi Machar – Hussein Mar Nyuot – kembali menyerukan pembebasan tersebut.
“Jika Anda tetap menahan mereka dan mengatakan Anda siap berdamai, berarti Anda tidak menunjukkan isyarat yang baik. Jadi kami mendesak Presiden Kiir dan kami juga meminta masyarakat internasional dan anggota-anggota Otoritas Pembangunan Antar Pemerintah IGAD agar mendesakkan pembebasan para tahanan tersebut,” tegas Nyuot.
Perundingan itu berlangsung sementara pertempuran terus berlanjut di Sudan Selatan.
Aksi kekerasan pecah pada pertengahan bulan Desember lalu. Presiden Kiir menuduh Machar berupaya melakukan kudeta, tuduhan yang dibantah Machar.
Machar menyebut Kiir sebagai seorang diktator yang berupaya membungkam para pengecamnya di dalam partai yang berkuasa.
Utusan Khusus Amerika Untuk Sudan Selatan Donald Booth mengatakan perundingan di Ethiopia merupakan langkah pertama yang baik guna mengakhiri perselisihan itu.
Ia mengatakan, “Suatu langkah penting untuk menghentikan permusuhan dan memulai perundingan, guna menyelesaikan isu-isu politik yang menjadi akar masalah dan memicu kerusuhan di Sudan Selatan dalam dua pekan ini”.
Aksi kekerasan berikutnya yang terjadi antar kedua pihak telah memaksa puluhan ribu orang mengungsi. Banyak pengungsi yang melarikan diri dari pertempuran di kota Bor, mengungsi di Awerial.
David Nash dari “Doctors Without Borders” mengatakan kepada VOA, desa tersebut tidak memiliki fasilitas untuk menangani pengungsi dalam jumlah besar.
“Orang tidak memiliki air bersih dan sanitasi, dan setiap orang bernaung di bawah pohon-pohon. Satu-satunya sumber mata air adalah Sungai Nil. Kami tepat berada di pinggiran Sungai Nil dan mereka menggunakan air sungai untuk mencuci, mandi, minum, semuanya, dan hampir tidak ada WC disini, jadi Anda bisa bayangkan kondisinya,” papar Nash.
David Nash menambahkan banyak pengungsi di tempat itu adalah kaum perempuan dan anak-anak yang lari dari rumah mereka dengan hanya membawa apapun yang bisa mereka bawa.
(Pam Dockins/VOA).
Menteri Luar Negeri Sudan Selatan Baranaba Marial Benjamin mengatakan pemerintah siap berunding. Ia mempertanyakan apakah kelompok oposisi juga memiliki komitmen serupa.
“Kami siap berdialog, tanpa syarat. Pihak lain lah yang mengajukan syarat-syarat,” katanya.
Sebelumnya pemerintah Sudan Selatan telah menolak salah satu syarat yang ditetapkan mantan wakil presiden Riek Machar untuk berunding, yaitu pembebasan sekutu-sekutu politiknya yang dipenjara pada awal terjadinya krisis ini.
Seorang anggota delegasi Machar – Hussein Mar Nyuot – kembali menyerukan pembebasan tersebut.
“Jika Anda tetap menahan mereka dan mengatakan Anda siap berdamai, berarti Anda tidak menunjukkan isyarat yang baik. Jadi kami mendesak Presiden Kiir dan kami juga meminta masyarakat internasional dan anggota-anggota Otoritas Pembangunan Antar Pemerintah IGAD agar mendesakkan pembebasan para tahanan tersebut,” tegas Nyuot.
Perundingan itu berlangsung sementara pertempuran terus berlanjut di Sudan Selatan.
Aksi kekerasan pecah pada pertengahan bulan Desember lalu. Presiden Kiir menuduh Machar berupaya melakukan kudeta, tuduhan yang dibantah Machar.
Machar menyebut Kiir sebagai seorang diktator yang berupaya membungkam para pengecamnya di dalam partai yang berkuasa.
Utusan Khusus Amerika Untuk Sudan Selatan Donald Booth mengatakan perundingan di Ethiopia merupakan langkah pertama yang baik guna mengakhiri perselisihan itu.
Ia mengatakan, “Suatu langkah penting untuk menghentikan permusuhan dan memulai perundingan, guna menyelesaikan isu-isu politik yang menjadi akar masalah dan memicu kerusuhan di Sudan Selatan dalam dua pekan ini”.
Aksi kekerasan berikutnya yang terjadi antar kedua pihak telah memaksa puluhan ribu orang mengungsi. Banyak pengungsi yang melarikan diri dari pertempuran di kota Bor, mengungsi di Awerial.
David Nash dari “Doctors Without Borders” mengatakan kepada VOA, desa tersebut tidak memiliki fasilitas untuk menangani pengungsi dalam jumlah besar.
“Orang tidak memiliki air bersih dan sanitasi, dan setiap orang bernaung di bawah pohon-pohon. Satu-satunya sumber mata air adalah Sungai Nil. Kami tepat berada di pinggiran Sungai Nil dan mereka menggunakan air sungai untuk mencuci, mandi, minum, semuanya, dan hampir tidak ada WC disini, jadi Anda bisa bayangkan kondisinya,” papar Nash.
David Nash menambahkan banyak pengungsi di tempat itu adalah kaum perempuan dan anak-anak yang lari dari rumah mereka dengan hanya membawa apapun yang bisa mereka bawa.
(Pam Dockins/VOA).