Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini diambil dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang dilaksanakan pada 21-22 September. Selain BI Rate, pihaknya juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 3,5 persen, dan suku bunga lending facility naik 50 bps menjadi lima persen.
“Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, preemptive dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran tiga persen, plus minus satu persen, pada paruh kedua tahun 2023,” ungkap Perry.
Keputusan tersebut, kata Perry, juga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamental, akibat tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
BI, kata Perry, juga terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi nasional dengan beberapa bauran kebijakan, di antaranya pertama, memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang sesuai dengan kenaikan suku bunga BI 7- Day Reverse Repo Rate untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasarannya pada paruh kedua tahun 2023.
Kedua, memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi, dengan intervensi di pasar valas, baik melalui transaksi spot, domestik non delivery forward, serta pembelian penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
“Ketiga, melanjutkan penjualan dan pembelian SBN di pasar sekunder atau yang sering disebut operation trust untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dengan meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investasi portofolio asing melalui kenaikan yield SBN tenor jangka pendek sejalan dengan kenaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate dan kenaikan struktur yield SBN jangka panjang yang lebih rendah dengan pertimbangan tekanan inflasi lebih bersifat jangka pendek dan akan menurun kembali sasaran pada paruh kedua tahun depan,” jelasnya.
Beban Masyarakat Bertambah
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai kenaikan BI Rate tersebut menjadikan beban masyarakat semakin bertambah. Masyarakat harus mengeluarkan biaya hidup yang jauh lebih tinggi pasca kenaikan harga BBM subsidi dan harga pangan akibat adanya inflasi, padahal pendapatan belum bisa pulih seperti prapandemi COVID-19.
“Dari sisi suku bunga acuan menciptakan kenaikan tingkat suku bunga pinjaman yang makin mendesak masyarakat untuk membayar cicilan jauh lebih mahal, baik untuk kredit yang sifatnya konsumsi, seperti kredit untuk KPR, dan ini akan mengancam banyak sekali anak muda, kesulitan untuk mencicil rumah melalui skema KPR,” ungkap Bhima kepada VOA.
Ia menambahkan bahwa pendapatan tidak akan bisa mengimbangi kenaikan harga rumah yang disertai dengan kenaikan bunga pinjaman KPR akibat floating rate yang semakin tinggi. Kredit kendaraan bermotor juga akan semakin terpuruk akibat kenaikan harga BBM dan bunga untuk leasing sepeda motor sehingga akan menurunkan minat masyarakat mengambil kredit kendaraan bermotor bukan hanya pada tahun ini, namun pada tahun-tahun yang akan datang. Tentu, kata Bhima, ini akan memukul produsen otomotif.
Kondisi pada saat ini, ujar Bhima memang serba dilemati. Jika BI tidak menaikkan suku bunga acuan, maka efek pelemahan dari nilai tukar rupiah justru akan menimbulkan imported inflation, yang akan menambah beban inflasi pasca kenaikan harga BBM subsidi.
“Jadi keputusan BI sudah tepat, bahkan perkiraan ke depan BI akan menaikkan lagi 50 basis poin. Masyarakat tentu mendapat beban tambahan dari naiknya bunga pinjaman. Tapi BI harus memilih mau efek ke rupiah 16.000 per dolar AS, misalnya, kalau BI tahan bunga acuan atau bunga acuan naik maka kreditnya melemah. Serba dilematis memang, tapi BI harus tegas. Dan di sisi fiskal pemerintah perlu bantu hadapi ekses dari bertambahnya cost of financing pelaku usaha dengan bantuan permodalan, seperti perluasan penerima dan kenaikan plafon KUR,” pungkasnya. [gi/ka]