Surat Edaran Ujaran Kebencian Kapolri Tuai Kontoversi

  • Nurhadi Sucahyo

Kapolri Jendral Badrodin Haiti (Foto: dok).

Surat Edaran Kepala Kepolisian RI Nomor 6 tahun 2015 mengenai hate speech atau ujaran kebencian menuai kontroversi. Surat ini dinilai menjadi ancaman bagi kebebasan menyatakan pendapat.

Adlun Fiqri, mahasiswa Universitas Ternate, Maluku Utara, Oktober lalu sempat merasakan dinginnya ruang tahanan kepolisian selama enam hari. Dia ditahan karena dianggap mencemarkan nama baik seorang petugas polisi setempat.

Menurut Yahya Mahmud dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ternate yang menjadi pengacara Fiqri, kasus ini bermula ketika aktivis mahasiswa itu terjaring operasi lalu lintas. Fiqri dan sejumlah warga lain dikumpulkan di pos polisi, untuk menunggu proses pemeriksaan dokumen.

Ketika itulah, Fiqri melihat seorang warga memberikan uang kepada polisi agar tidak terkena tilang. Kejadian itu direkam oleh Fiqri dengan telepon selularnya, dan kemudian diunggah ke situs Youtube.

Video pendek berjudul Kelakukan Polisi Minta Suap di Ternate itupun menyebar dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat, hingga berujung penangkapan dan penahanan Adlun Fiqri.

“Padahal seharusnya bagi kita, ini seharusnya ya, kitalah atau masyarakat yang berhak melakukan kontrol terhadap kinerja kepolisian. Nah, keikutsertaan masyarakat melakukan kontrol semacam itu ternyata justru dikriminalisasi oleh pihak kepolisian sendiri. Ini bagi kami adalah sesuatu yang salah,” kata Yahya Mahmud.

Adlun Fiqri dibebaskan setelah muncul desakan dari berbagai kalangan. Adlun Fiqri adalah salah satu korban dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang ini telah memakan banyak korban, terutama terkait dengan apa yang mereka sampaikan di situs jejaring sosial seperti Facebook, Path, maupun Youtube.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safe Net) mencatat, sejak 2008 hingga awal 2015, sudah ada 78 korban pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE di Indonesia.

Menurut pengamat hukum dan peneliti di Republik Institute, Makassar, Damang SH, masuknya butir perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik dalam Surat Edaran Kapolri, yang didasarkan pada KUHP dan UU ITE, memang menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat. Di Sulawesi Selatan sendiri ada warga yang dihukum penjara delapan bulan karena dituduh mencemarkan nama baik Bupati yang dikritiknya.

“Ini ada salahnya disini terkait dengan surat edaran adalah, dia memasukkan juga pasal tentang penghinaan, yang kita sebut penghinaan terhadap individu, pasal 310-311, fitnah, padahal itu tidak termasuk dalam kebencian yang bisa memicu terjadinya kerusuhan sosial,” kata Damang SH.

Namun menurut Damang yang juga pengelola laman kajian hukum, negarahukum.com, Surat Edaran Kapolri ini sebenarnya dibutuhkan jika terkait isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Tindakan atas ujaran kebencian terkait SARA tetap penting, karena mengancam pluraritas, kebebasan beragama, dan bisa memicu kerusuhan rasial atau antaragama. Kerusuhan Aceh atau Tolikara bisa saja dicegah lebih dini jika polisi memiliki pedoman yang lebih jelas dalam isu semacam ini.

“Beda misalnya, kalau seperti apa yang terjadi di Tolikara, kan ketika itu diprotes, kenapa ini pihak kepolisian tidak bisa melakukan deteksi secara dini padahal sudah jelas ada indikasi di media sosial. Nah, yang seperti inilah yang perlu diantisipasi. Ada deteksi dini dari kepolisian supaya tidak kemudian tersulut kerusuhan dari kejadian ini,” imbuhnya.

Dalam berbagai kesempatan, Kapolri Jendral Badrodin Haiti menekankan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat, tetapi sekaligus negara hukum yang mengatur kebebasan itu. Kepolisian sendiri saat ini sedang memantau 180.000 akun media sosial yang dianggap berpotensi menyebarkan ujaran kebencian.

Dalam Surat Edaran Kapolri disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. Bentuknya antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong. Tujuannya adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat. Aspeknya bisa meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seks.