Hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia mengenai Persepsi Ekonomi dan Politik Jelang Lebaran yang dilaksanakan pada 13 April sampai 17 April 2021, menunjukkan sekitar 49,5 responden menilai kondisi ekonomi nasional masih dalam kondisi buruk dan sangat buruk. Survei ini dilakukan dengan cara menggunakan kontak telepon atas 1.200 responden, dengan tingkat kesalahan sekitar 2,9 persen.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan sebanyak 42,2 persen responden menilai kondisi ekonomi nasional masih buruk. Sedangkan 7,3 persen responden mengatakan kondisi ekonomi nasional masih sangat buruk. Dalam temuan survei itu, bisa disimpulkan total responden yang menilai kondisi ekonomi nasional memburuk sebanyak 49,5 persen.
Survei itu juga menunjukkan hanya 14,5 persen responden yang mengatakan kondisi ekonomi nasional sudah baik. Lalu, sebanyak empat persen yang menilai sangat baik.
“Kami lihat di sini yang mengatakan kondisi ekonomi nasional buruk atau sangat buruk itu totalnya 49,5 persen. Jadi ini bukan angka yang kecil, meskipun tidak lagi mayoritas secara absolut, kondisi ekonomi nasional secara sosiotropik masih dalam persepsi negatif,” kata Burhanuddin dalam paparannya, Selasa (4/5).
Dibanding Mei 2020, Ada Penguatan Persepsi Bahwa Ekonomi Membaik
Kendati mayoritas responden menilai kondisi ekonomi nasional masih buruk. Namun, responden yang mengatakan ekonomi nasional memburuk itu cenderung turun selama setahun terakhir. Pada Mei 2020, sebanyak 81 persen responden menilai kondisi ekonomi nasional buruk.
“Terus kami melakukan survei untuk mengecek pergerakan opini publik terkait dengan kondisi ekonomi nasional, trennya turun secara cukup lumayan panjang. Tapi kalau kita lihat dibanding responden yang mengatakan kondisi ekonomi nasional baik itu masih lebih banyak yang mengatakan buruk,” ungkap Burhanuddin.
Persepsi terhadap kondisi ekonomi saat ini merupakan yang terburuk sejak tahun 2004. Namun, dalam dua bulan terakhir, penilaian atas kondisi ekonomi nasional perlahan cenderung membaik. Para responden yang menilai memburuk menurun jumlahnya. Meski masih lebih banyak daripada yang menilai buruk atau sedang.
Your browser doesn’t support HTML5
Kemudian, berdasarkan kategori sosio-demografi, lebih banyak yang menilai kondisi ekonomi nasional buruk pada hampir semua kelompok, kecuali etnis Jawa dan Madura. Sementara berdasarkan wilayah, persepsi kondisi ekonomi nasional yang cenderung buruk terjadi di hampir semua daerah kecuali Banten dan Jawa Tengah (Jateng). Di wilayah itu lebih banyak yang menilai kondisi ekonomi nasional sedang.
70,8 Persen Warga Jakarta Yang Disurvei Nilai Ekonomi Memburuk
Sedangkan, responden yang mengatakan kondisi ekonomi nasional sangat buruk dan buruk berasal dari DKI Jakarta sebanyak 70,8 persen. Lalu, diikuti Jawa Barat sebanyak 61,3 persen, dan Kalimantan yakni 57 persen.
BACA JUGA: Jokowi Perintahkan Penguatan 'Green Economy' dan 'Blue Economy'“Dari sisi wilayah yang mengatakan kondisi ekonomi nasional memburuk terutama mereka yang tinggal di DKI Jakarta. Kebetulan DKI Jakarta episentrum COVID-19. Di Jateng yang mengatakan kondisi ekonomi nasional memburuk itu relatif lebih kecil,” jelas Burhanuddin.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menilai kondisi negara secara umum dalam berbagai bidang, kondisi ekonomi masih belum sepenuhnya pulih. Meski sedikit menunjukkan persepsi membaik.
CORE : Belum Semua Sektor Ekonomi Pulih
Diwawancarai secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan perkembangan kondisi ekonomi nasional dibanding kuartal sebelumnya memang mengalami perbaikan. Namun, masih banyak sektor yang sampai saat ini masih belum pulih sepenuhnya.
“Terutama pariwisata, dan juga daerah-daerah di luar Jawa hanya bergantung kepada sektor ini termasuk di antaranya Bali. Sekarang yang belum terlalu pulih adalah tingkat konsumsi masyarakat karena ini yang paling besar berkontribusi terhadap ekonomi kita,” katanya kepada VOA.
Dalam memperbaiki kondisi ekonomi nasional, pemerintah diharapkan mampu membuat kebijakan yang mendorong daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah lantaran paling banyak terdampak karena adanya pandemi COVID-19.
“Ini perlu dipulihkan kembali dari sisi daya beli terutama dalam menciptakan lapangan kerja. Jadi, tidak melulu semuanya lewat bantuan sosial karena kalau lewat bansos tidak berkelanjutan, sifatnya masih darurat. Itu yang perlu diperbanyak, program-program padat karya ini perlu lebih banyak lagi di samping tentu saja yang paling inti permasalahan penanggulangan pandemi,” pungkas Faisal. [aa/em]