Survei Indikator: Mayoritas Warga Menilai Belum Saatnya Amandemen UUD 1945

Kursi-kursi di ruangan utama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampak kosong karena pembatasan yang dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 saat Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan di Jakarta pada 16 Agustus 2021. (Foto: Reuters/Achmad Ibrahim)

Hasil survei Indikator Politik menunjukkan mayoritas warga berpandangan belum saatnya melakukan amandemen UUD 1945.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan 55 persen publik dan 69 persen kelompok elit menilai UUD 1945 belum saatnya diamandemen. Sementara publik yang setuju untuk amandemen sebesar 18,8 persen dan elit 28,1 persen. Adapun publik yang tidak menjawab sebesar 26,2 persen dan elit 2,9 persen.

Survei dini melibatkan 1.220 responden yang diwawancara apda 2-7 September 2021 dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen. Sedangkan elit (pemuka opini nasional dan daerah) yang diwawancara sebanyak 313 orang pada 1-30 September 2021.

"Jadi mereka memandang UUD 1945 bukan kitab suci artinya bisa diamandemen. Tapi saat survei dilakukan, elit lebih konklusif mengatakan belum saatnya dilakukan amandemen," jelas Burhanuddin dalam diskusi daring, pada Rabu (14/10).

BACA JUGA: Deklarasi Dukungan pada Kandidat Pilpres 2024: Popularitas, Loyalitas dan Realitas

Burhanuddin menambahkan publik yang menolak amandemen berpandangan UUD 1945 sudah sesuai dengan kondisi bangsa dan masih layak digunakan. Ini tidak jauh berbeda dengan elit yang menolak berpandangan belum ada hal yang mendesak untuk melakukan amandemen dan UUD 1945 sudah baik.

Namun, jika perlu dilakukan kembali amandemen, kebanyakan elit dan publik berpandangan perubahan UUD 1945 dilakukan terhadap pasal atau aturan tertentu sesuai kebutuhan. Namun cukup banyak juga yang menilai tidak bisa dilakukan terhadap satu pasal saja karena saling terkait dengan pasal yang lain.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi. (Foto: VOA/Sasmito)

"Tujuh puluh persen publik kita itu mengatakan MPR sebaiknya menjalankan tugas kalau amandemen dilakukan. Tapi harus mendengar suara publik terlebih dahulu," imbuhnya.

Tak Setuju Presiden Dipilih MPR

Hasil survei juga menunjukkan mayoritas warga atau 82,1 persen menilai presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat karena presiden dipilih oleh rakyat. Selain itu, mayoritas warga dan elit kurang atau tidak setuju dengan pendapat yang mengusulkan pemilihan presiden dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Mayoritas elit menilai MPR merupakan lembaga negara yang kedudukannya setara dengan Presiden. Sementara di kalangan Publik terlihat lebih terbelah, sekitar 45,8 persen menilai MPR setara dengan presiden dan 40,4 persen menilai MPR kedudukannya di atas Presiden.

Wacana Amandemen UUD 1945, Isu Kalangan Elit

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan wacana amandemen UUD 1945 merupakan isu kalangan elit dan tidak berasal dari masyarakat. Ia menyebut syarat amandemen UUD 1945 ini mudah dipenuhi oleh koalisi partai politik pemerintah. Sebab kebutuhan suara untuk memasukkan agenda amandemen di MPR hanya 237 suara. Sedangkan kebutuhan suara untuk menggelar rapat sebanyak 474 suara.

Your browser doesn’t support HTML5

Survei Indikator: Mayoritas Warga Menilai Belum Saatnya Amandemen UUD 1945

Adapun total koalisi partai mayoritas mencapai 469 suara, artinya hanya membutuhkan sedikit tambahan suara dari DPD untuk amandemen ini berjalan.

"Kita perlu khawatir dengan matematika ini, karena pada Agustus sidang tahunan mendatang. Tiba-tiba ini bisa kumpul dan bilang oke kita mulai agendanya," jelas Bivitri.

Ahli tata negara, Bivitri Susant,i usai menggelar konferensi pers bersama tokoh nasional di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

Bivitri meminta para politisi tidak terpaku dengan hitungan matematika syarat amandemen UUD 1945. Namun, ia mendesak para politikus untuk mendengarkan aspirasi masyarakat terkait wacana amandemen ini.

Bivitri juga menuturkan amandemen UUD 1945 biasanya diikuti oleh peristiwa politik yang luar biasa. Semisal reformasi 1999 dan UUD Republik Indonesia Serikat 1949. Kondisi serupa juga terjadi di negara lain seperti Thailand yang mengalami perubahan konstitusi setelah demokratisasi dan kudeta militer.

"Tidak ada urgensi amandemen dalam waktu dekat, maka upaya MPR untuk mengupayakan amandemen sebelum 2024 harus ditolak," tambah Bivitri. (sm/em)