Survei Ipsos: Masyarakat Indonesia Makin Gemar Dompet Digital

Seorang pengguna menggunakan dompet digital Go Pay di sebuah kedai makanan di Jakarta, 27 Oktober 2018. (Foto: Reuters)

Dompet digital ternyata semakin digandrungi oleh masyakarat pada masa sekarang ini. Apa alasannya? Sudah cukup amankah?

Seiring dengan perkembangan zaman, perilaku masyarakat pun ikut berubah. Salah satunya adalah, masyarakat kini lebih nyaman bertransaksi keuangan dengan menggunakan dompet digital atau cashless.

Hasil survei yang dilakukan oleh perusahaan riset pemasaran independen, Ipsos Indonesia terhadap 1.000 responden yang tinggal di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, menunjukkan 26 persen responden menggunakan dompet digital karena merasa lebih aman, nyaman dan yakin. Sedangkan 25 persen responden menggunakan pembayaran digital karena memberikan pengalaman yang menyenangkan.

BACA JUGA: OJK: Sektor Jasa Keuangan “Stabil”

Managing Director Ipsos Indonesia Soeprapto Tan mengatakan bahwa pembayaran non-tunai di Indonesia merupakan hal yang sangat positif. Menurutnya ada tiga motivasi besar, kenapa masyarakat beralih menggunakan alat pembayaran digital ini.

Pertama, kata Soeprapto, masyarakat merasa aman karena sudah tidak perlu lagi membawa uang fisik dalam kehidupan sehari-hari. Cukup dengan membawa dompet digital. Motivasi kedua, masyarakat merasa hidupnya lebih mudah dengan keberadaan dompet digital ini.

“Sekarang fun juga beli es dawet di belakang kantor. Habis minum es dawet kita tinggal scan QR code. Jadi tidak perlu lagi pakai fisik money. Dulu kan harus bawa uang dan belum tentu uangnya besar, tidak ada recehannya. Sekarang sudah tidak perlu dan sangat fun untuk melakukan transaksi yang sifatnya digital,” ujarnya dalam acara Ipsos Marketing Summit 2020: Indonesia The Next Cashless Society,” di Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Spanduk pembayaran dompet digital OVO di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, 8 November 2018. (Foto: Reuters)

Motivasi terbesar lainnya adalah masyarakat cenderung menikmati pembayaran non-tunai ini karena bisa memperkaya hidup mereka dengan sesuatu hal yang baru.

Indonesia karena masih dalam tahap awal menggunakan dompet digital, kata Soeprapto merupakan pasar potensial untuk bisa sepenuhnya menggunakan transaksi non-tuna, mengikuti negara-negara maju di dunia.

Soeprapto membandingkan Indonesia dengan China di mana sudah 95 persen transaksi di negara itu tidak menggunakan uang fisik.

“Jadi mereka ketinggalan dompet, dia hanya membawa smartphone bisa hidup (dan) melakukan transaksi sehari-hari. Nah di Indonesia belum. Kalau di Indonesia masih separuh saja saat ini. Tapi ini very promising (sangat menjanjikan) buat Indonesia untuk being cashless,” jelasnya.

BACA JUGA: Grab Akan Investasi Triliunan Rupiah di Vietnam

Studi The Next Cashless Society memfokuskan pada penelitian kebiasaan masyarakat baik milenial dan non milenial dalam menggunakan pembayaran non-tunai. Studi ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner online kepada responden online panel dari Ipsos pada Desember 2019 di seluruh Indonesia.

Berdasarkan tempat tinggal, 66 persen dari 1.000 responden tinggal di Jawa, 21 persen tinggal di Sumatera, 6 persen di Kalimantan, 4 persen bermukim di Sulawesi, Bali 4 persen dan 1 persen di Nusa Tenggara.

Hasil survei menunjukkan bahwa kebanyakan konsumen tidak hanya menggunakan satu jenis dompet digital. Sebanyak 47 responden mengaku menggunakan tiga jenis atau lebih dompet digital dan 28 persen menggunakan dua jenis. Sedangkan responden yang hanya menggunakan satu jenis dompet digital berkisar 21 persen. Dompet digital yang paling sering digunakan adalah Ovo dan Gopay.

(Dari kiri ke kanan) Chief Marketing Officer Link Aja! Edward K Suiwgnjo, Managing Director Ipsos Indonesia Soeprapto Tan, dan Pengamat Ekonomi Yustinus dalam acara Ipsos Marketing Summit: Indonesia The Next Cashless Society, di Jakarta, Rabu, 15 Januari

Para konsumen menggunakan dompet digital untuk berbagai transaksi keuangan seperti berbelanja online, membayar tagihan listrik, membayar makanan di restoran, membayar penggunaan alat transportasi, membeli tiket bioskop dan berbagai layanan perbankan digital.

Sementara itu, pengamat ekonomi Yustinus Prastowo mengatakan temuan Ipsos ini bisa menjadi bahan bagi pemerintah menentukan kebijakan yang tepat untuk pembayaran digital ke depan. Menurutnya, pemerintah tidak bisa hanya sebagai regulator saja atau sebagai fasilitator yang memberi kemudahan. Namun pemerintah juga harus menjadi akselerator.

“Bagaimana mempercepat ini (pembayaran digital) untuk tumbuh dan membuat kebijakan. Dinamik sekaligus menciptakan ekosistem dan environment yang bagus,” ujar Yustinus.

Dia juga berpendapat sangat penting bagi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan bisa bersinergi.

“Sehingga tiga pilar ekosistem, government, pelaku ekonomi, businessmen, termasuk pengguna itu masing-masing bisa berinteraksi dan sekaligus menjadi owners (pemilik.red),” ujar Yustinus.

Dalam kesempatan yang sama, Chief Marketing Officer Link Aja! Edward K Suwignjo mengatakan, pembayaran digital bisa menjadi sebuah solusi membuka akses perbankan untuk masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan. Diketahui bahwa sebanyak 50 persen masyarakat Indonesia masih belum bisa menyentuh akses perbankan karena satu dan lain hal.

Your browser doesn’t support HTML5

Survei Ipsos: Masyarakat Indonesia Makin Gemar Dompet Digital

Keberadaan pembayaran digital bisa menjembatani kebutuhan tersebut. Sekarang ini, kata Edward, orang tidak harus pergi ke bank untuk membuka rekening bank. Cukup dengan teknologi canggih, sudah bisa memiliki rekening di bank.

“Ini sebetulnya satu solusi tambahan. Solusi yang sebenarnya paling penting tidak hanya untuk pengguna, tetapi juga untuk pemerataan ekonomi negara ini. Kita juga lihat di berbagai macam negara lain, fintech itu tidak sekedar dari sisi pembayaran, dan pembayarannya pun bisa dalam berbagai macam bentuk,” paparnya.

Edward mencontohkan Kenya yang mengalami kemajuan ekonomi dengan menggunakan pembayaran digital. Menurutnya, pembayaran digital memungkinkan uang beredar lebih bebas karena tidak dibatasi oleh bentuk fisiknya.

“Kalau kita berdasarkan cash (uang tunai.red), pergerakan ekonomi di satu kota mungkin akan hanya mentok pada nilai cash yang beredar di tempat itu. Tapi ketika digital payment masuk, uang bisa masuk darimana pun juga. Dari kota besar ke kota kecil. Perpindahan transaksi tidak hanya berdasarkan dari uang kertas dan uang koin yang dipegang,” jelasnya.

Para pengemudi Gojek antre membeli makanan dengan kios Go Pay di Jakarta, 27 Oktober 2018. (Foto: Reuters)

Diakuinya untuk bisa menuju 100 persen cashless di Indonesia merupakan pekerjaan berat. Namun masuknya teknologi finansial ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menunjukkan bahwa ada potensi yang baik, dan bisa berkontribusi bagi perkembangan perekonomian.

Keamanan Bertransaksi

Tidak bisa dipungkiri bahwa transaksi keuangan digital ini masih diwarnai dengan berbagai kasus kejahatan. Edward mengatakan hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai pembayaran digital. Misalnya, bagaimana masyarakat sendiri melindungi data pribadi mereka.

Sebagai salah satu pelaku dalam transaksi digital keuangan ini, Edward mengaku masih mencari berbagai formula untuk bisa meminimalisasi berbagai kasus kejahatan itu. Selain itu, menurutnya, pemerintah juga perlu memperluas edukasi masyarakat mengenai penggunaan pembayaran digital.

Edward mencontohkan apakah penggunaan One-Time Password (OTP) sudah cukup untuk melindungi konsumen saat bertransaksi atau perlu pengamanan lain seperti verifikasi biometrik atau pemindaian beberapa bagian tubuh, seperti sidik jari, saat bertransaksi.

“Ini adalah perkembangan yang kita sedang arahkan ke sana. Tapi memang semua akan berawal dari kesadaran semua pribadi masyarakat Indonesia yang harus diedukasi bersama-sama tentang pentingnya menjaga data pribadi,” pungkasnya. [gi/ft]