Para korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan menganggap Joko Widodo memiliki komitmen dan integritas dalam memajukan kehidupan beragama.
JAKARTA —
Lembaga hak asasi manusia dan kebebasan berkeyakinan Setara Institute pada Selasa (1/4) melaporkan survei yang dilakukannya menunjukkan bahwa Gubernur Joko Widodo atau Jokowi dianggap sebagai calon presiden yang memiliki komitmen dan integritas dalam memajukan kehidupan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Joko memperoleh suara terbanyak, yaitu 75 persen, disusul oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Sedangkan untuk calon presiden lainnya, sebagian besar responden menyatakan ketidakyakinan dan keraguan atas kemampuan mereka. Menteri Agama Suryadharma Ali dinilai yang paling tidak berkomitmen soal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dengan responden 100 korban pelanggaran kebebasan beragama dengan tema pemilu 2014, survei ini dilakukan 5 Maret sampai 30 Maret 2014. Sebagian besar responden berasal dari Jawa barat, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta dan Jawa Timur.
“Teman-teman korban melihat pada dua peristiwa di mana Jokowi menunjukan sikap kebhinekaannya. Yang pertama adalah ketika ada tuntutan agar Lurah (Lenteng Agung) Susan itu dipindahkan karena dianggap agamanya berbeda dengan penduduk di sana, tetapi Jokowi tetap dengan caranya mempertahankan. Kasus kedua adalah gereja Katolik Artikulus di Tambora. Mereka ada disana sejak 1967, baru beberapa waktu terakhir mendapat gangguan kemudian Jokowi menemui semua pihak di sana,” ujar Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute.
Bonar mengatakan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak menjadi perhatian serius dalam kampanye pemilihan umum. Lebih dari setengah responden (67 persen) menyatakan bahwa hal tesebut dikarenakan ketidakpahaman dari para politisi maupun elit partai politik.
Bonar mengatakan para korban kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menilai kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia selama 10 tahun terakhir masih buruk. Berbagai macam kasus pelanggaran kebebasan belum mendapat penyelesaian, ujarnya.
Menurut para korban, tambahnya, sepanjang masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada kemajuan sama sekali dalam hal kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia.
Menurutnya, beberapa faktor yang menyebabkan belum terselesaikannya berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan antara lain adalah tidak adanya aturan hukum yang jelas, aparat yang tidak tegas serta ketiadaan kemauan politik dari pemerintah.
Bonar mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pemerintah pun tidak melakukan apa-apa sehubungan dengan kasus kebebasan beragama.
Koordinator Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan, Pendeta Palti Panjaitan menyatakan, para korban berharap pemilu 2014 memberikan harapan akan terciptanya suasana yang lebih kondusif dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Harapan di pemilu 2014 sangat tinggi bisa menyelesaikan masalah kebebasan beragama dan berkepercayaan karena para korban berharap ini selesai ketika pemimpin selesai dengan perspektifnya dengan kebebasan beragama dan berkepercayaan. Kalau diserahkan ke masyarakat sipil ini bisa bermasalah maka harapannya sangat tinggi,” ujarnya.
Juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha membantah jika dikatakan presiden hanya retorika dalam memberikan perlindungan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dia mengakui masih adanya gesekan atau perselisihan yang terjadi di masyarakat sehubungan dengan toleransi beragama tetapi jumlahnya tidak banyak.
Presiden, lanjut Julian, tidak lepas tangan terkait persoalan yang ada.
Joko memperoleh suara terbanyak, yaitu 75 persen, disusul oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Sedangkan untuk calon presiden lainnya, sebagian besar responden menyatakan ketidakyakinan dan keraguan atas kemampuan mereka. Menteri Agama Suryadharma Ali dinilai yang paling tidak berkomitmen soal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dengan responden 100 korban pelanggaran kebebasan beragama dengan tema pemilu 2014, survei ini dilakukan 5 Maret sampai 30 Maret 2014. Sebagian besar responden berasal dari Jawa barat, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta dan Jawa Timur.
“Teman-teman korban melihat pada dua peristiwa di mana Jokowi menunjukan sikap kebhinekaannya. Yang pertama adalah ketika ada tuntutan agar Lurah (Lenteng Agung) Susan itu dipindahkan karena dianggap agamanya berbeda dengan penduduk di sana, tetapi Jokowi tetap dengan caranya mempertahankan. Kasus kedua adalah gereja Katolik Artikulus di Tambora. Mereka ada disana sejak 1967, baru beberapa waktu terakhir mendapat gangguan kemudian Jokowi menemui semua pihak di sana,” ujar Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute.
Bonar mengatakan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak menjadi perhatian serius dalam kampanye pemilihan umum. Lebih dari setengah responden (67 persen) menyatakan bahwa hal tesebut dikarenakan ketidakpahaman dari para politisi maupun elit partai politik.
Bonar mengatakan para korban kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menilai kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia selama 10 tahun terakhir masih buruk. Berbagai macam kasus pelanggaran kebebasan belum mendapat penyelesaian, ujarnya.
Menurut para korban, tambahnya, sepanjang masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada kemajuan sama sekali dalam hal kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia.
Menurutnya, beberapa faktor yang menyebabkan belum terselesaikannya berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan antara lain adalah tidak adanya aturan hukum yang jelas, aparat yang tidak tegas serta ketiadaan kemauan politik dari pemerintah.
Bonar mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pemerintah pun tidak melakukan apa-apa sehubungan dengan kasus kebebasan beragama.
Koordinator Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan, Pendeta Palti Panjaitan menyatakan, para korban berharap pemilu 2014 memberikan harapan akan terciptanya suasana yang lebih kondusif dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Harapan di pemilu 2014 sangat tinggi bisa menyelesaikan masalah kebebasan beragama dan berkepercayaan karena para korban berharap ini selesai ketika pemimpin selesai dengan perspektifnya dengan kebebasan beragama dan berkepercayaan. Kalau diserahkan ke masyarakat sipil ini bisa bermasalah maka harapannya sangat tinggi,” ujarnya.
Juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha membantah jika dikatakan presiden hanya retorika dalam memberikan perlindungan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dia mengakui masih adanya gesekan atau perselisihan yang terjadi di masyarakat sehubungan dengan toleransi beragama tetapi jumlahnya tidak banyak.
Presiden, lanjut Julian, tidak lepas tangan terkait persoalan yang ada.