Remaja di Indonesia sudah memiliki pandangan gender yang stereotip sejak dini. Sikap itu setidaknya bisa disimpulkan dari hasil penelitian Global Early Adolencent Study (GEAS), yang dilakukan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Anggriyani Wahyu Pinandari, salah satu peneliti memaparkan, penelitian ini menyasar 4.681 remaja usia 10-14 beserta orang tua mereka. Mereka bersekolah di 18 SMP Negeri, di Kota Denpasar, Semarang, dan Lampung.
“Dari GEAS kami menyimpulkan bahwa separuh remaja mendukung sifat gender yang stereotipikal. Misalnya statemen, remaja laki laki seharusnya selalu mempertahankan diri, walapun harus berkelahi. Remaja laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan dianggap lemah. Remaja perempuan seharusnya tidak bersuara keras agar terlihat anggun,” kata Anggriyani.
Lebih lanjut, Anggriyani juga mengatakan bahwa separuh remaja Indonesia percaya laki-laki harus menjadi penentu akhir berbagai keputusan rumah tangga. Selain itu, perempuan harus mematuhi suami dalam hal apapun, dan laki-laki harus menjadi pencari uang bagi keluarga, bukan perempuan.
Paparan itu disampaikan pada Kamis (3/12) dalam seminar bertema "Pendidikan Kesehatan Reproduksi Menyeluruh untuk Mendorong Kesetaraan Serta Kesejahteraan Laki-laki dan Perempuan". Acara ini diselenggarakan Pusat Kesehatan Reproduksi FKKMK UGM bersama Rutgers WPF Indonesia.
Penelitian pertama dilakukan sejak Oktober 2018, kemudian diselingi dengan riset kualitatif, dan diakhiri penilaian terakhir tahun depan. Umur responden yang ditetapkan 10-14 tahun didasarkan pada pertimbangan untuk mengetahui aspirasi mereka sejak dini. Pemilihan lokasi penelitan selama dua tahun itu juga dilakukan dengan pertimbangan matang.
BACA JUGA: Dangdut dan Pelecehan Seksual yang Terselip di Uang Saweran“Kami berasumsi Bandar Lampung merepresentasikan Indonesia yang lebih konservatif Islam, Semarang lebih moderat Islam, sedangkan Bali bisa mewakili Indonesia bagian timur yang kultur masyarakatnya lebih terbuka. Harapannya, ketiga daerah ini sedikit banyak mampu merepresentasikan dinamika atau perbedaan situasi sosal budaya di Indonesia,” tambah Anggriyani.
Sikap Remaja Membawa Resiko
Penelitian ini juga menghasilkan sejumlah data lain, misalnya mayoritas remaja yang bercita-cita melanjutkan pendidikan, ternyata tidak terakomodasi. Mengutip data Susenas 2019, kata Anggriyani, hanya 25 persen penduduk usia 19-24 yang saat ini sedang berekolah. Sebagian besar anak-anak ini berhenti sebelum masuk SMA.
Sekitar 80-90 persen responden ingin menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, ingin bekerja, menikah dan memiliki anak di usia lebih 20-an tahun. Aspirasi ini lebih tinggi di kalangan remaja perempuan, tetapi dalam kasus pernikahan faktanya justru berkebalikan. Data menunjukkan, 11 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Sedangkan di pihak laki-laki jumlahnya hanya satu persen.
Kenyataan bahwa separuh remaja yang menjadi responden menyetujui beberapa sifat dan peran gender yang stereotipikal ini membawa resiko. Menurut Anggriyani, hal itu dapat memicu diskriminasi, kekerasan, dan perilaku merugikan dalam hubungan antar pribadi dalam keluarga dan kehidupan sosial.
Peneliti merekomendasikan kerja sama dan dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (KemenPPPA) kepada Kementerian Pendidikan. Kerja sama dan dukungan itu secara struktural dan penganggaran terkait program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Menyeluruh (PKRM). Pengarusutamaan gender dan pencegahan kekerasan juga penting dalam PKRM, termasuk di dalamnya pelibatan remaja laki-laki dan penilaian kritis gender yang stereotipikal.
Perlu pula peningkatan pembiayaan untuk komunikasi, pendidikan dan advokasi bagi guru, orang tua dan masyarakat mengenai diskriminasi dan kekerasan dalam keluarga. Pengembangan layanan, rujukan anak, remaja dan keluarga serta jaring pengaman untuk perlindungan korban juga penting. Bentuknya bisa konseling psikologi dan pendidikan, perawatan kesehatan, bantual sosial dan hukum.
Your browser doesn’t support HTML5
Diselipkan dalam Kurikulum
Lenny N Rosalin dari KemenPPPA menyebut, dalam berbagai dokumen resmi pemerintah, selalu ditekankan bahwa kesehatan reproduksi adalah hak bagi anak laki-laki dan perempuan secara setara. Namun, sesuai hasil penelitian, anak perempuan lebih paham isu ini, sebaiknya terkait paparan kekerasan, anak laki-laki lebih dominan.
“Pada waktu berperan utuk memerankan gender roles-nya, laki-laki perannya tidak terlalu tampak karena yang terbangun stereotype tadi. Ini yang sebetulnya perlu koreksi kebijakan lebih rinci, yang lebih kita cek betul,” kata Lenny.
Lenny mengakui, PKRM menjadi tantangan besar saat ini untuk mengubah kondisi tersebut. Namun belum memungkinkan menyusunnya sebagai satu bagian pelajaran tersendiri. Sejauh ini, yang bisa dilakukan adalah menyelipkan substansinya ke mata pelajaran yang sudah ada dalam kurikulum yang berlaku. Indonesia sendiri, kata Lenny, memiliki 22,2 juta anak usia 10-14 tahun.
“Kita punya strategi agar substansinya bisa menjadi arus utama dalam kurikulum yang ada, sambil jalan, sampai kita punya kurikulum terpisah. Sementara sambil menunggu proses itu, kita bisa memasukan subtansinya ke kurikulum yang ada,” tambahnya.
BACA JUGA: Pertarungan Agama dan Negara: 100 Tahun Perjuangan Pencegahan Kawin AnakPengalaman Kisara Bali
Kadek Ayu Meisa Dewi, aktivis program Kisara, PKBI Bali mengakui, sisi psikologis anak dan remaja lebih sering terabaikan.
“Kebutuhan resmaja terhadap kesehatan seksual dan reproduksi tidak hanya bertitik tolak pada kesehatan biologis, namun juga sosial dan psikologisnya, yang sering dipinggirkan ketika menilai kesehatan remaja,” kata Meisa.
Kisara sendiri memiliki sejumlah program bagi anak dan remaja, setidaknya melalui kerja sama dengan 10 sekolah di Denpasar, edukasi di media, dan layanan konsultasi Pacar Idaman. Layanan ini bahkan mengalami peningkatan akses di tengah pandemi saat ini.
“Dulu Kisara bekerja sama dengan tim relawan psikologi Universitas Udayana untuk melayani akses kesehatan teman remaja di sekolah, sekarang layanan menjadi online,” tambah Meisa.
Belajar dari pengalaman mereka di Bali, Meisa menyarankan adanya koordinasi lebih antara dinas pendidikan dan dinas kesehatan, sebagai pengelola layanan Puskesmas. Dengan demikian, jika ditemukan masalah terkait remaja serta kesehataan seksual dan reproduksi, dapat dikoordinasikan dengan Puskesmas paling dekat dengan sekolah. Meisa juga merekomendasikan peningkatan layanan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dari sekadar melayani P3K, menjadi pusat pendidikan kesehatan. [ns/ab]