Hasil survei SMRC menyatakan 77 persen warga menilai virus corona atau COVID-19 telah mengancam penghasilan mereka.
Pandemi itu membuat mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok tanpa meminjam dan tabungan berkurang hanya cukup beberapa minggu. Namun sekitar 23 persen mengatakan COVID-19 tidak mengancam penghasilan.
CEO SMRC, Sirojudin Abbas mengatakan, survei melibatkan 1.200 responden yang diwawancarai melalui telepon yang dipilih secara acak pada 9-12 April 2020 dengan batas galat 2,9 persen.
Survei itu menunjukkan, papar Sirojudin, 25 persen warga atau 50 juta warga dewasa sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman.
BACA JUGA: Jokowi Yakin Corona Lenyap Akhir 2020, Pariwisata akan 'Booming' Lagi"Lima belas persen warga menyatakan tabungan yang dimiliki hanya cukup untuk beberapa minggu, dan 15 persen warga menyatakan tabungan yang dimiliki hanya cukup untuk satu minggu," jelas Sirojudin Abbas, Sabtu (17/4/2020).
Sirojudin Abbas menambahkan survei ini juga menunjukkan 67 persen rakyat Indonesia menyatakan kondisi ekonominya semakin memburuk sejak pandemi COVID-19. Hanya 24 persen yang menyatakan tidak ada perubahan dan 5 persen yang menyatakan lebih baik.
Kalangan yang paling terkena dampak ini adalah mereka yang yang bekerja di sektor informal, pekerja kerah biru, dan kelompok yang mengandalkan pendapatan harian.
Survei SMRC juga memotret anggapan warga tentang ancaman COVID-19 terhadap nyawa manusia. Hasilnya 92 persen responden menganggap COVID-19 mengancam nyawa manusia. Namun, presentase kekhawatiran setiap provinsi berbeda-beda.
"Terdapat dua provinsi yang persentase warganya yang menganggap COVID-19 mengancam nyawa sangat tinggi: Sulawesi Selatan (99 persen) dan DKI Jakarta (98 persen). Sementara di Jawa Barat hanya 77 persen warga yang menganggap COVID-19 mengancam nyawa," tambah Sirojudin Abbas.
Your browser doesn’t support HTML5
Dari sisi penanganan, warga hampir terbelah dalam menilai kecepatan pemerintah pusat menangani Covid 19. Lima puluh dua persen menilai pemerintah bergerak cepat, 41 persen lainnya menilai lambat.
Anjuran dan kebijakan menjaga jarak dalam kehidupan sosial mendapat dukungan dari masyarakat secara nasional. Namun demikian, tidak ke luar rumah merupakan yang paling sulit dilakukan warga. Masih ada sekitar 4 persen yang tidak yakin bahwa keluar rumah berbahaya.
Pengangguran Melesat
Sirojudin Abbas mengindikasikan jumlah pengangguran di tengah wabah COVID-19 akan mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat dari dua hasil survei SMRC pada 22-25 Maret 2020 dan 9-12 April 2020.
Dari kedua survei tersebut terlihat pendapatan kotor rumah tangga yang sebelumnya tidak terpengaruh atau tetap menurun dari 57 persen menjadi 27 persen. Sedangkan yang turun mengalami kenaikan 47 persen menjadi 70 persen. Kendati demikian, Abbas tidak bisa memastikan berapa angka pasti peningkatan pengangguran akibat COVID-19.
"Saya kira sangat besar akan berkontribusi pada peningkatan jumlah pengangguran dan peningkatan jumlah kemiskinan sudah pasti. Dan lalu PHK saya kira akan terus membesar," tutur Sirojudin.
BACA JUGA: Terkait Corona, Kelompok Rentan Harus Lebih DiperhatikanDihubungi terpisah, Center of Reform on Economics (CORE) juga mengingatkan akan potensi lonjakan jumlah pengangguran yang tinggi dalam tahun ini. Pada Agustus 2019, jumlah pengangguran terbuka tercatat 7,05 juta orang atau 5,28 persen dari total angkatan kerja. Ini belum termasuk yang setengah menganggur yang jumlahnya 8,14 juta, dan
pekerja paruh waktu sebanyak 28,41 juta orang.
Selain PHK pada sektor formal, CORE juga mewaspadai hilangnya mata pencaharian di sektor informal. Alasannya, daya tahan ekonomi pekerja di sektor informal relatif rapuh. Utamanya yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal.
"Terlebih lagi jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7persen dari total jumlah tenaga kerja. Mayoritas dari mereka bekerja pada usaha skala mikro (89persen di tahun 2018)," tulis Akhmad Akbar Susamto, ekonom CORE Indonesia, dalam rilis Rabu (15/4).
CORE Indonesia memperkirakan peningkatan jumlah pengangguran terbuka pada triwulan II 2020 dalam tiga skenario. Potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka secara nasional mencapai 4,25 juta orang dengan skenario ringan, 6,68 juta orang dengan skenario sedang, dan bahkan hingga 9,35 juta orang dengan skenario berat.
"Penambahan jumlah pengangguran terbuka terjadi terutama di pulau Jawa, yaitu mencapai 3,4 juta orang dengan skenario ringan, 5,06 juta orang dengan skenario sedang dan 6,94 juta orang dengan skenario berat. Tingkat pengangguran terbuka secara nasional pada triwulan II 2020 diperkirakan mencapai 8,2 persen dengan skenario ringan, 9,79 persen dengan skenario sedang dan 11,47 persen dengan skenario berat," tambah Akhmad Akbar.
BACA JUGA: Peneliti Usulkan Program Padat Karya '4.0' di Tengah Wabah Corona“Skenario ringan” dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran COVID-19 akan semakin luas pada bulan Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar pulau Jawa.
“Skenario sedang” dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran COVID-19 lebih luas lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di pulau Jawa dan beberapa kota di luar pulau Jawa.
“Skenario berat” dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran COVID-19 tak terbendung lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan secara luas baik di pulau Jawa maupun luar Jawa, dengan standar yang sangat ketat.
Rekomendasi CORE
CORE Indonesia mengapresiasi sejumlah program bantuan sosial dan insentif bagi dunia usaha yang diberikan pemerintah untuk meminimalkan tekanan ekonomi di tengah pandemi COVID-19. Bantuan sosial tersebut antara lain bantuan sosial khusus sebesar Rp600 ribu selama 3 bulan untuk keluarga di Jabodetabek, program keluarga harapan, bantuan sembako, kartu prakerja, hingga menggratiskan tarif listrik untuk pelanggan 450 VA dan diskon 50persen untuk 900 VA.
Namun, CORE menilai distribusi bantuan tersebut perlu dipercepat dan secara simultan melengkapi data penerima agar bantuan dapat diberikan tepat sasaran, tepat waktu dan tepat bentuknya.
"Kedua, mengintegrasikan data pengangguran dan penerima bantuan sosial yang selama ini dimiliki dari berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Mulai dari Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, lembaga administrasi pemerintah hingga tingkat desa/kelurahan, hingga lembaga masyarakat khususnya RT dan RW termasuk asosiasi-asosiasi tenaga kerja," jelas Akhmad Akbar dalam rilis.
BACA JUGA: Sri Mulyani: Pemerintah Berusaha Hindari ResesiSelain itu, pemerintah juga perlu menyesuaikan skema bantuan Kartu Pra-Kerja dengan memprioritaskan pengangguran yang tidak mampu, khususnya yang terkena dampak COVID-19, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Paket pelatihan senilai satu juta rupiah yang mengalir kepada penyelenggara pelatihan yang satu paket dengan insentif pelatihan dan biaya survei masing-masing Rp600 ribu dan Rp150 ribu, juga perlu ditinjau ulang pada masa pandemi ini.
Di samping itu, dunia usaha juga perlu didorong melalui pemberian insentif agar mereka mengoptimalkan alternatif-alternatif untuk mempertahankan tenaga kerja mereka dibandingkan dengan PHK. [sm/em]