Hasil survei itu disampaikan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dalam konferensi pers di Jakarta hari Kamis (25/1). Direktur Komunikasi Strategis SMRC Ade Armando mengatakan hasil ini menunjukkan bahwa kebanyakan warga Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi.
"Angkanya 57 persen, jadi mayoritas menyatakan berhak hidup. Buat mereka yang percaya pada demokrasi dan HAM (hak asasi manusia), ini kabar yang menggembirakan," ujar Ade.
SMRC sudah tiga kali melakukan survei opini masyarakat mengenai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), yakni pada 22-30 Maret 2016, 3-10 September 2017, dan 7-13 Desember 2017. Populasi survei yang dilakukan dengan wawancara tatap muka ini adalah warga negara Indonesia yang sudah memiliki hak pilih. Ketiga penelitian dengan tingkat kesalahan 3,1-3,2 persen ini melibatkan 1.220 responden.
Responden yang berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di Indonesia tersebar di antara semua kelompok publik berdasarkan kategori gender (pria-perempuan), tempat tinggal (perkotaan-pedesaan), agama, etnis, usia, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan pekerjaan.
Menurut Ade, hasil dari ketiga survei itu menunjukkan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang LGBT. Pada survei serupa Maret lalu, hanya 48,8 persen responden mengetahui tentang LGBT, namun pada survei kali ini meningkat menjadi 58,3 persen.
Sekitar 50 persen warga yang tahu LGBT menilai pemerintah wajib melindungi LGBT sebagaimana warga negara lainnya. Namun, sebagian lain menilai pemerintah tidak perlu memberi jaminan perlindungan terhadap kelompok ini.
Lebih lanjut Ade mengatakan 81,5 persen responden setuju perilaku seksual gay dan lesbian dilarang oleh agama; dan mayoritas responden keberatan jika orang LGBT menjadi tetangga mereka atau menjadi pejabat pemerintah.
Dari kacamata kedokteran, menurut ahli bedah syaraf Rio Hasan, LGBT (lesbian, gay, dan biseksual) adalah hal normal; sedangkan transgender adalah kelainan. Rio Hasan menggarisbawahi bahwa lesbian, gay, dan biseksual merupakan orientasi seksual dan ini bukan penyakit atau kelainan; sementara transgender adalah orang yang merasa tidak nyaman dengan identitas jenis kelaminnya.
Rio menjelaskan dari sudut pandang biologi, tidak semua lelaki itu berkromosom XY dan tidak semua perempuan berkromosom XX. Menurut dia, ada XY yang perempuan dan ada XX yang laki-laki. Ditambahkannya bahwa banyak perempuan yang tidak memiliki uterus dan ovarium, dan sebaliknya ada laki-laki berpenis kecil seperti klitoris.
"Jenis-jenis yang tidak teridentifikasi dengan pasti ini disebut interseks. Sekarang itu ada yang sudah mengelompokkan 43 jenis interseks," ujar Rio.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sebelumnya mengatakan pemerintah Indonesia sebenarnya telah sejak lama menerima orang-orang yang memiliki kelainan LGBT, akan tetapi tidak dengan perilaku mereka.
"Saya kira memang selama ini kita tidak pernah mempermasalahkan LGBT sebagai orang, yang dipermasalahkan itu perilakunya, bukan orangnya, bahkan sudah dibicarakan dalam pemerintahan sejak 30 tahun lalu, tapi bukan orangnya. Kalau saya 100 persen menerima orangnya, bukan perilaku seksualnya," tukas Mahfud MD.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut dosen Komunikasi FISIP Universitas Atmajaya Yogyakarta Dina Listiyorini, selama akhir tahun 2015-2018 berita tentang LGBT sangat gencar dalam tiga tahun terakhir. Menanggapi hasil survei SMRC yang menyimpulkan semakin banyak masyarakat Indonesia mengetahui LGBT, Dina malah mempertanyakan sedalam apa pengetahuan mereka mengenai LGBT.
Dina menilai sebagian besar media di Indonesia tampak jelas menolak LGBT, meskipun media arus utama masih lebih toleran ketimbang media-media non-arus utama. Ditambahkannya, berdasarkan informasi yang didapatnya keluarga justru menjadi tempat pertama di mana kelompok LGBT mengalami tindak kekerasan. [fw/em]