Hasil survei opini dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan 87 persen dari 1.220 responden tidak setuju jika presiden dipilih langsung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hasil survei itu dipaparkan oleh Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas, yang dirilis secara daring dengan tajuk “Sikap Publik Nasional terhadap Amandemen UUD 1945”.
Survei opini publik ini digelar pada 15 hingga 21 September melalui tatap muka atau wawancara langsung terhadap 1.220 responden yang dipilih secara acak. Survei itu memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan tingkat kesalahan 3,19 persen.
“Mayoritas masyarakat juga tidak setuju jika presiden dipilih oleh MPR. Kami menemukan mayoritas warga 87 persen tidak atau sangat tidak setuju jika presiden tidak dipilih oleh rakyat,” kata Abbas, Jumat (15/10).
Abbas menjelaskan, hasil survei itu juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan sistem pemilihan langsung di mana setiap warga memiliki hak suara bisa memilih calon presiden dan wakilnya yang diinginkannya.
“Yang setuju hanya 10 persen dan tidak tahu tiga persen,” jelasnya.
Hasil survei opini publik ini juga menunjukkan, mayoritas masyarakat yang menolak presiden dipilih oleh MPR bahkan mengalami peningkatan dari Mei 2020 ke September 2021. Gagasan tentang presiden dipilih langsung oleh MPR ditolak oleh mayoritas warga di setiap pendukung partai maupun berbagai lapisan masyarakat.
“Kalau kita lihat maka penolakan ini cenderung meningkat dari sebelumnya 85 persen menjadi 87 persen,” ungkap Abbas.
Survei opini publik SMRC juga menyorot masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Mayoritas responden sebanyak 84 persen menilai ketentuan masa jabatan presiden maksimal dua kali yakni masing- masing selama lima tahun harus dipertahankan.
“Hanya 12 persen (responden) yang mengatakan harus diubah. Ada 40 persen dari 12 persen itu yang ingin diubah menjadi lebih dari dua kali masing-masing lima tahun,” ujar Abbas.
Lanjut Abbas, dari total populasi yang menginginkan masa jabatan presiden harus lebih dua kali, turun dari tujuh persen pada survei Mei 2020 ke lima persen di September 2021. “Artinya dalam empat bulan ada penurunan dukungan terhadap ide untuk mempepanjang masa jabatan presiden,” pungkasnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand), Feri Amsari, menilai pemilihan presiden secara langsung sebenarnya dikhawatirkan oleh para politisi. Pasalnya, para politisi kerap merogoh kocek dalam ketika presiden dipilih oleh rakyat.
“Saya khawatir yang dikhawatirkan banyak partai itu biaya mereka (politisi) lebih besar daripada uang negara. Tumben orang partai khawatir dengan uang negara keluar dibandingkan dengan biaya mereka. Karena kalau bicara penghematan uang negara, banyak hal lain yang mereka harus lakukan untuk penghematan misalnya tidak ke luar negeri membahas Undang-Undang Dasar,” ucapnya.
Lanjut Feri, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisir pengeluaran uang negara ketika pemilihan presiden dipilih oleh rakyat. Salah satunya, disatupintukannya hasil pemilihan presiden yang kerap menimbulkan perselisihan dan pengeluaran tambahan negara.
“Itu akan menghemat anggaran. Kenapa itu tidak dibicarakan. Saya mengkhawatirkan pemilu presiden langsung ini merumitkan bagi politisi yang terbiasa memanjakan diri berkampanye secara sederhana dan memastikan tingkat keterpilihan terutama karena mereka memiliki partai besar,” pungkasnya.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Univesitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan adanya keinginan untuk mengubah masa jabatan presiden tiga periode merupakan kepentingan elite politik atau kelembagaan yang ada di ketatanegaraan.
“Yang saya khawatirkan adalah kepentingan kelembagaan di ketatanegaraan karena MPR ngebet melahirkan amandemen,” tandasnya. [aa/ab]