20 Tahun Berjalan, KontraS Rekomendasikan Revisi UU Pengadilan HAM

Aksi Unjuk Rasa Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu di depan Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, 31 Maret 2019. (VOA/Fathiyah).

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang selesai diselidiki Komnas HAM namun belum ditindaklanjuti Jaksa Agung.

LSM pemerhati HAM KontraS merekomendasikan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang telah berlaku 20 tahun direvisi. Alasannya Undang-undang ini dinilai belum efektif memberi keadilan bagi masyarakat.

Staf Advokasi KontraS, Tioria Pretty mengatakan, setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM yang telah selesai diselidiki Komnas HAM namun belum ditindaklanjuti Jaksa Agung. Kasus tersebut antara lain kasus 1965, kasus penembakan misterius 1982-1985, kasus Talangsari 1989 dan kasus Mei 1998.

Pendamping, keluarga korban dan korban saat berziarah sambil melakukan tabur bunga di TPU Pondok Rangon, Jakarta, 13 Mei 2019. (Foto:VOA/ Sasmito)

"Selain political will yang minim, tidak efektifnya UU Pengadilan HAM juga disebabkan oleh berbagai kelemahan pengaturan yang memungkinkan adanya penundaan yang berlarut-larut," jelas Tioria Pretty dalam konferensi pers daring, Senin (23/11/2020).

Staf Advokasi KontraS Tioria Pretty. (Foto: VOA/screenshot)

Pretty mengusulkan sejumlah poin perbaikan jika nantinya DPR dan pemerintah merevisi UU Pengadilan HAM. Antara lain pemberian wewenang penyidikan kepada Komnas HAM dan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc oleh Mahkamah Agung. Kata Pretty, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc saat ini yang harus melalui Keputusan Presiden dan berdasarkan rekomendasi DPR sulit karena sarat pengaruh politik.

KontraS juga mengusulkan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban agar bukan hanya berdasarkan putusan pengadilan, melainkan juga berdasarkan keputusan lembaga yang menangani saksi dan korban.

"Karena sudah ada yang sejenis ini yaitu di UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dimana kompensasi dan rehabilitasi korban tidak ditempelkan apakah pelakunya berhasil dipidana atau tidak," tambahnya.

Sementara Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menyoroti penolakan Kejaksaan Agung terhadap hasil penyelidikan lembaganya tentang kasus pelanggaran HAM. Sebab, penolakan tersebut bukan dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung. Karena itu, ia mempertanyakan mekanisme penilaian yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap hasil penyelidikan lembaganya.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. (Foto: VOA/Sasmito)

"Pertanyaannya kapan penyidik Kejaksaan Agung itu ada? Apakah ketika berkasnya kami kirimkan baru mereka membuat tim penyidik karena sifatnya ad hoc? Tapi dalam pelaksanaannya mereka sudah melakukan penilaian, dengan penilaian itulah berkas dikembalikan. Tidak tahu mereka statusnya penyidik atau bukan," tutur Anam, Senin (23/11/2020).

Choirul Anam berharap lembaganya dapat berhubungan secara langsung dengan penyidik kejaksaan yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara langsung. Menurutnya, Komnas HAM juga siap jika kantornya digunakan sekretariat bersama untuk penyidik dari kejaksaan dan penyelidik Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM.

Selain itu, kata Anam, hambatan lainnya adalah tidak ada kemauan politik negara atau Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Sebab, bukti yang diminta kejaksaan tidak mungkin dipenuhi oleh Komnas HAM. Semisal visum korban untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari. (Foto: VOA/screenshot)

VOA sudah berusaha menghubungi Jaksa Agung dan juru bicara mereka terkait penuntasan dua belas kasus pelanggaran HAM yang telah selesai diselidiki Komnas HAM. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari Kejaksaan Agung.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari sependapat dengan KontraS agar Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM direvisi untuk memutus rantai impunitas kasus pelanggaran HAM. Namun, menurutnya revisi Undang-undang ini kecil kemungkinan akan masuk dalam Prolegnas 2021. Karena itu, ia meminta KontraS dan organisasi pemerhati HAM lainnya untuk memperkuat diskusi dan menyiapkan teori untuk revisi Undang-undang Pengadilan HAM.

Monumen Mei 1998 yang didirikan Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Komnas Perempuan. (Foto: VOA/Sasmito)

"Selama 20 tahun kenyataannya ada masalah-masalah yang fundamental dalam Undang-undang ini. Kalau Prolegnas 2021 sulit karena kita belum siap juga," kata Taufik Basari, Senin (23/11/2020).

Sementara terkait 12 kasus pelanggaran HAM yang masih tahap penyelidikan, Taufik meminta Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk duduk bersama dan melepaskan ego sektoral masing-masing. Ia juga setuju jika kedua lembaga tersebut membentuk tim bersama sambil menunggu revisi Undang-undang Pengadilan HAM.

Ia berharap proses hukum terhadap belasan kasus pelanggaran HAM ini dapat naik ke tingkat pengadilan dan memenuhi rasa keadilan korban. Sebab, kata dia, tiga kasus pelanggaran HAM sebelumnya yang naik ke pengadilan masih kurang memenuhi keadilan korban. Tiga kasus yang sudah naik ke pengadilan yaitu kasus Timor Timur (1999), Tanjung Priok (1984) dan peristiwa Abepura (2000).

Taufik Basari juga mengatakan akan mempertimbangkan sejumlah usulan yang disampaikan KontraS terkait kompensasi dan rehabilitasi korban pelanggaran HAM. Termasuk soal penguatan wewenang Komnas HAM untuk menjadi penyidik kasus pelanggaran HAM. [sm/ab]