Minggu ini, anak-anak keluarga Qudeh seharusnya kembali ke sekolah. Namun, mereka justru sedang berjalan terhuyung-huyung dengan kedua tangan menenteng puing-puing dari bangunan hancur untuk dijual. Puing-puing itu nantinya digunakan untuk membangun kuburan di pemakaman yang kini menjadi rumah mereka di Gaza selatan.
"Di negara lain, orang seusia kami sedang belajar," kata Ezz el-Din Qudeh yang berusia 14 tahun, sambil mengangkut bongkahan beton bersama tiga saudaranya, yang termuda berusia 4 tahun. "Kami tidak bisa melakukan itu. Kami harus bekerja melebihi kapasitas kami hanya untuk bertahan hidup."
Ketika Gaza memulai tahun ajaran sekolah kedua tanpa kegiatan belajar-mengajar, sebagian besar anak-anak usia sekolah malah sibuk membantu keluarga mereka bertahan hidup di tengah serangan Israel yang menghancurkan.
Anak-anak berjalan tanpa alas kaki melalui jalan tanah untuk membawa air dalam jeriken plastik dari titik distribusi ke keluarga mereka yang tinggal di kota-kota tenda yang dipenuhi pengungsi Palestina. Sementara itu, yang lain mengantre di dapur umum untuk mendapatkan ransum.
Pekerja kemanusiaan memperingatkan bahwa kurangnya pendidikan yang berkepanjangan bisa mengakibatkan dampak negatif jangka panjang bagi anak-anak Gaza. Anak-anak dengan usia lebih muda akan mengalami gangguan dalam perkembangan kognitif, sosial, dan emosional mereka, sementara anak-anak yang berusia lebih tua berisiko terjebak dalam pekerjaan atau pernikahan dini, kata Tess Ingram, juru bicara regional Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation's Children Fund/UNICEF)
"Semakin lama seorang anak tidak bersekolah, semakin besar risiko mereka putus sekolah secara permanen dan tidak kembali," katanya.
Sebanyak 625.000 anak usia sekolah di Gaza kehilangan hampir satu tahun penuh pendidikan. Sekolah-sekolah ditutup menyusul serangan Israel sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober. Belum jelas kapan anak-anak itu bisa kembali bersekolah karena perundingan-perundingan untuk menghentikan perang antara Israel dan Hamas belum membuahkan hasil.
Lebih dari 90 persen gedung sekolah di Gaza rusak akibat pengeboman Israel, termasuk sekolah dikelola oleh UNRWA, badan PBB yang menangani pengungsi Palestina, menurut Klaster Pendidikan Global, sebuah koalisi organisasi bantuan yang dipimpin oleh UNICEF dan organisasi nirlaba, Save the Children.
Sebanyak 85 persen bangunan sekolah mengalami kerusakan parah hingga memerlukan rekonstruksi bertahun-tahun. Universitas-universitas di Gaza juga hancur. Israel berpendapat bahwa militan Hamas beroperasi di sekolah-sekolah tersebut.
Sekitar 1,9 juta dari 2,3 juta penduduk Gaza diusir dari rumah mereka dan kini tinggal di kamp-kamp tenda yang tidak memiliki sistem air atau sanitasi. Banyak dari mereka juga bertumpuk di sekolah-sekolah PBB dan pemerintah yang kini berfungsi sebagai tempat penampungan.
Rindu Sekolah
Kelompok-kelompok bantuan berupaya menyiapkan alternatif pendidikan, tetapi hasilnya terbatas karena mereka harus menangani berbagai kebutuhan mendesak lainnya.
UNICEF dan lembaga-lembaga bantuan lainnya mengoperasikan 175 pusat pembelajaran sementara, sebagian besar didirikan sejak akhir Mei, yang melayani sekitar 30.000 siswa dengan bantuan sekitar 1.200 guru sukarelawan, kata Ingram. Mereka menawarkan kelas literasi dan numerasi serta kegiatan untuk kesehatan mental dan pengembangan emosional.
Namun, dia mengatakan mereka kesulitan memperoleh perlengkapan seperti pena, kertas, dan buku karena barang-barang tersebut tidak dianggap sebagai material prioritas penyelamatan nyawa, sementara kelompok bantuan berjuang untuk mengirimkan cukup makanan dan obat-obatan ke Gaza.
BACA JUGA: Penyakit Kulit Menimpa Anak-anak Gaza Seiring Perang yang Berlanjut Tanpa AkhirPada Agustus, UNRWA meluncurkan program "kembali belajar" di 45 sekolah yang beralihfungsi menjadi tempat penampungan. Program ini menyediakan kegiatan seperti permainan, drama, seni, musik, dan olahraga untuk anak-anak, bertujuan memberi mereka waktu istirahat, kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman-teman, dan merasakan kembali masa kanak-kanak mereka, kata juru bicara Juliette Touma.
Palestina telah lama menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Sebelum perang, Gaza memiliki tingkat literasi yang sangat tinggi, hampir 98 persen.
Saat terakhir kali mengunjungi Gaza pada April, Ingram mengungkapkan bahwaanak-anak sering mengatakan kepadanya bahwa mereka rindu kembali bersekolah, teman-teman, dan guru-guru mereka. Ketika seorang anak laki-laki menjelaskan betapa dia ingin kembali ke kelas, dia tiba-tiba berhenti dengan panik dan bertanya, "Saya bisa kembali, bukan?"
"Itu sangat memilukan bagi saya," katanya.
Orang tua melaporkan bahwa tanpa adanya kegiatan belajar mengajar di sekolah, ditambah dengan trauma dari pengungsian, pengeboman, serta kerugian keluarga, anak-anak mereka mengalami perubahan emosional. Beberapa menjadi cemberut dan menarik diri, sementara yang lain mudah gelisah atau frustrasi.
Dipenuhi Tunawisma, Bukan Siswa
Serangan Israel yang berlangsung 11 bulan meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Gaza dan menimbulkan krisis kemanusiaan. Malnutrisi dan penyebaran penyakit meluas. Lebih dari 40.000 warga Palestina tewas, menurut pejabat kesehatan Gaza. Anak-anak adalah salah satu yang paling parah terdampak. Ingram mengatakan hampir semua dari 1,1 juta anak di Gaza diperkirakan memerlukan bantuan psikososial.
Israel mengatakan bahwa serangannya bertujuan untuk melenyapkan Hamas agar organisasi tersebut tidak dapat mengulangi serangan pada 7 Oktober, di mana militan menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel selatan dan menculik 250 lainnya.
Konflik tersebut juga menghambat pendidikan bagi anak-anak Palestina di Tepi Barat, di mana Israel juga mengintensifkan pembatasan pergerakan dan melakukan penggerebekan besar-besaran.
“Pada hari apa pun sejak Oktober, antara 8 persen dan 20 persen sekolah di Tepi Barat ditutup,” kata Ingram. Ketika sekolah dibuka, tingkat kehadiran siswa juga berkurang karena anak-anak takut, katanya.
Para orang tua di Gaza mengungkapkan kesulitan dalam memberikan pelajaran informal kepada anak-anak mereka di tengah kekacauan yang melanda sekitar mereka.
Di sebuah sekolah di pusat Kota Deir al-Balah, ruang kelas terlihat dipenuhi keluarga. Cucian mereka tampak digantung di tangga luar. Jajaran tenda-tenda rombeng dari seprai dan terpal, disangga dengan batang-batang, memenuhi halaman sekolah.
“Masa depan anak-anak hancur,” kata Umm Ahmed Abu Awja, dikelilingi oleh sembilan cucunya yang masih kecil. “Apa yang mereka pelajari tahun lalu benar-benar terlupakan. Jika mereka kembali ke sekolah, mereka harus memulai dari awal.” [ah/ft]