Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan memprotes rencana pencocokan (constatering) lahan di Mayasih berdasarkan surat PN Kuningan W.11.U16/825/HK.02/4/2022 dan sita eksekusi nomor 1/Pdt.Eks. /2022/ PN Kng Jo. Nomor 7/Pdt.G/2009/Pn.Kng.
Mereka menolak rencana itu dengan melaksanakan gelar budaya. Mengenakan pakaian tradisional, warga menggelar atraksi gamelan, atraksi angklung, sampai orasi. Sejumlah kelompok masyarakat sipil dan kelompok lintas-iman hadir memberikan dukungan.
Girang Pangaping Sunda Wiwitan, Tati Djuwita, mengatakan personel kepolisian dan Satpol PP datang di lokasi.
“Kami kan dari awal diminta tidak ada pengerahan massa. Kita tidak ada pengerahan massa. Kita mau melakukan gelar budaya. Kebangkitan Nasional gitu kan. Kemudian mendengar ada eksekusi, ya otomatis secara naluri kita harus mempertahankan itu,” ujarnya ketika dihubungi VOA, Rabu (18/5).
Tati menambahkan, pihak pengadilan tidak hadir ke lokasi. Karena itu eksekusi lahan tidak jadi dilaksanakan. Namun demikian, warga tetap was-was karena eksekusi bisa kembali datang.
Lahan Mayasih Milik Komunal atau Pribadi?
Masalah ini berawal pada 2008 ketika seorang laki-laki bernama Jaka Rumantaka mengklaim kepemilikan lahan di Mayasih lewat gugatan di PN Kuningan. Dalam klarifikasi di Dewan Pers pada 2017, Jaka mengatakan tanah seluas 224 meter persegi itu adalah milik ibunya, Ibu Ratu Siti Djenar. Ibunya adalah keturunan Pangeran Tedjabuana, pemimpin Sunda Wiwitan pada era terdahulu.
Jaka mengatakan, pada tahun 1980-an, pamannya memberikan tanah itu kepada Mimin Saminah dan Kusnadi. Lahan itu kemudian digunakan oleh masyarakat sampai dia mengklaimnya kembali pada 2008. Kasus ini terus naik ke Mahkamah Agung, di mana Jaka kembali memenangkan gugatannya pada 2012.
Namun menurut Tati, tanah dan bangunan itu adalah milik komunal. Dia merujuk pada surat pernyataan pada tahun 1964 dan 1975 di mana Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana memberikan Hak Pengelolaan Aset tersebut kepada tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh itu pun mendirikan Yayasan Pendidikan Tri Mulya yang mengajukan kawasan itu sebagai Cagar Budaya Nasional.
BACA JUGA: Komnas HAM: Penyegelan Bakal Makam Tokoh Sunda Wiwitan Cederai HAMDi atas lahan itu berdiri Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, pusat kegiatan masyarakat Sunda Wiwitan. Tati mengatakan, bangunan itu dipakai untuk lokakarya batik Paseban serta penyimpanan benda-benda seni untuk kegiatan Seren Taun. Masyarakat pun memiliki bukti girik dan manuskrip. Namun manuskrip itu tidak dipertimbangkan di pengadilan.
“Bahkan amanat-amanat yang tertulis di dalam manuskrip mengenai tanah adat sama sekali tidak dipertimbangkan, Ini manuskrip lho, amanat. Sama sekali tidak dipertimbangkan. Mungkin kasarnya kami lebih banyak dilecehkan,” ujar Tati lagi.
Tati berharap dilakukan mediasi antara masyarakat Sunda Wiwitan dan Jaka Rumantaka.
Hak Masyarakat Adat Harus Dilindungi
Sementara itu, Solidaritas Korban Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) menilai putusan eksekusi ini melupakan sejarah Sunda Wiwitan.
Koordinator Divisi Advokasi Sobat KBB, Usama Ahmad Rizal, mengatakan objek eksekusi berupa tanah dan bangunan itu punya hubungan yang kuat dan menyejarah dengan masyarakat Sunda Wiwitan.
“Komunitas ini merupakan kesatuan masyarakat adat yang sudah terbentuk sejak lama, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk. Selain itu, mereka berpegang teguh terhadap norma serta aturan adat yang sudah mereka jalani sejak lama secara turun-temurun. Misalnya pengaturan tentang pertanian, hubungan sosial, penguasaan lahan yang komunal, dan lain-lain,” ujarnya kepada VOA.
Ini bukan pertama kalinya Sunda Wiwitan menghadapi masalah tanah. Pada 2020, bakal makam tokoh Sunda Wiwitan disegel oleh Pemda Kuningan karena tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) dan dikhawatirkan jadi tempat pemujaan.
Karena itu, Rizal menyerukan pemerintah untuk mengukuhkan kawasan adat Mayasih menjadi tanah adat Sunda Wiwitan.
“Kami juga meminta DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Selama RUU itu belum disahkan, persoalan seperti ini dikhawatirkan akan terulang kembali pada masyarakat adat lainnya di Indonesia,” tegasnya. [rt/em]